Jakarta, NU Online
Majelis Ulama Indonesia (MUI) meminta Surat Keputusan Bersama (SKB) 3 Menteri soal penggunaan pakaian seragam dan atribut kekhususan di lingkungan sekolah negeri agar direvisi. Tujuannya, supaya tidak memicu polemik, kegaduhan, dan ketidakpastian hukum.
Demikian salah satu bunyi poin pernyataan sikap yang terangkum dalam tausiyah Dewan Pimpinan MUI. Tausiyah ini ditandatangani langsung oleh Ketua Umum MUI KH Miftachul Akhyar dan Sekjen Amirsyah Tambunan, pada Kamis lalu.
MUI memberikan apresiasi karena SKB 3 Menteri itu yang berbunyi ‘pemerintah daerah dan sekolah tidak boleh melarang penggunaan dengan seragam kekhasan tertentu’, karena dinilai memberikan perlindungan pelaksanaan agama dan keyakinan masing-masing peserta didik, pendidik, dan tenaga kependidikan.
Hal lain yang disoroti adalah soal kalimat ‘pemerintah daerah dan sekolah tidak boleh mewajibkan, memerintahkan, mensyaratkan, dan mengimbau penggunaan seragam dengan kekhasan agama tertentu’. Menurut MUI, aturan ini harus dibatasi pada pihak (peserta didik, pendidik, dan tenaga kependidikan) yang berbeda agama, sehingga tidak terjadi pemaksaan kekhasan agama tertentu pada pemeluk agama yang lain.
Selanjutnya, MUI menilai apabila pewajiban, perintah, persyaratan, atau imbauan tersebut diberlakukan terhadap peserta didik yang seagama, pemerintah tidak perlu melarang. Sebab, menurut MUI, sekolah dapat saja memandang hal itu bagian dari proses pendidikan agama dan pembiasaan akhlak mulia terhadap peserta didik.
MUI mendorong agar aturan seperti itu seharusnya diserahkan kepada sekolah, termasuk komite sekolah, untuk mewajibkan atau tidak dan mengimbau atau tidak. Dengan tegas, pemerintah diminta untuk tidak perlu campur tangan pada aspek ini.
Di samping itu, MUI berpandangan bahwa pemerintah hendaknya membuat kebijakan yang memberikan kelonggaran kepada sekolah negeri di daerah. Kelonggaran itu untuk membuat pengaturan positif yang arahnya menganjurkan, membolehkan, dan mendidik peserta didik untuk taat beragama sesuai keyakinan, termasuk dalam berseragam kekhasan agama.
MUI kemudian menukil teks konstitusi yang sejalan dengan pernyataan itu, yakni Pasal 29 UUD 1945 ayat 1, yang berbunyi: ‘Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa’. Kemudian ayat 2, ‘Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya’.
Menurut MUI, pendidikan tidak hanya mentransfer ilmu pengetahuan (transfer of knowledge), tetapi penanaman nilai-nilai (transfer of values) dan pengamalan ilmu serta keteladanan (uswah).
Oleh karena itu, sekolah yang memerintahkan atau mengimbau peserta didik dan tenaga kependidikan agar menggunakan seragam dan atribut yang menutup aurat, termasuk berjilbab, merupakan bagian dari proses pendidikan untuk mengamalkan ilmu dan keteladanan.
SKB 3 Menteri pada diktum kelima huruf d, juga menjadi sorotan MUI. Terdapat kalimat yang tidak sejalan dan bahkan bertentangan dengan ketentuan dalam UUD 1945 Pasal 31 ayat 1 yang dinyatakan, ‘Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan’. Lalu dilanjutkan pada ayat 2, ‘Setiap warga Negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya’.
Kalimat yang dinilai bertentangan dengan ayat konstitusi negara itu berbunyi, ‘Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan memberikan sanksi kepada sekolah yang bersangkutan terkait dengan bantuan operasional sekolah dan bantuan pemerintah lainnya yang bersumber dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan’.
MUI menilai SKB 3 Menteri ini kontroversi dan ha-hal seperti ini harus dihindari, agar bangsa Indonesia bisa tetap fokus menghadapi dan mengatasi pandemi Covid-19 yang hingga kini belum usai.
Karena itu, MUI meminta Kemendikbud, Kemendagri, dan Kemenag untuk fokus saja dalam mengatasi masalah dan dampak yang sangat berat akibat pandemi Covid-19. Semua komponen bangsa dapat bekerjasama mengatasi Covid-19 dan segala dampaknya dengan jiwa persatuan Indonesia.
“Karenanya hal-hal yang menimbulkan kontrovesi semestinya dihindari oleh semua pihak sehingga bangsa Indonesia lebih ringan dalam menghadapi Covid-19 dan dapat menyelesaikan masalah-masalah nasional lainnya untuk kepentingan bersama,” ungkap MUI dalam tausiyahnya.
Namun demikian, MUI tetap memberikan penghargaan dan apresiasi pada sebagian isi SKB 3 Menteri itu, dengan dua pertimbangan. Pertama, SKB ini memastikan hak peserta didik menggunakan seragam dengan kekhasan agama sesuai keyakinannya, serta tidak boleh dilarang oleh pemerintah daerah dan sekolah.
“Kedua, SKB ini melarang pemerintah daerah dan sekolah memaksakan seragam kekhasan agama tertentu pada penganut agama yang berbeda,” tegas MUI.
Sementara itu, Direktur Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini, Pendidikan Dasar, dan Pendidikan Menengah (Paudasmen) Kemendikbud, Jumeri menyatakan bahwa SKB 3 Menteri itu hanya mengatur peserta didik di sekolah negeri yang diselenggarakan pemerintah daerah.
Sekolah negeri tersebut memang harus menampung peserta didik dari berbagai latar belakang, termasuk berbagai agama. Sedangkan untuk sekolah-sekolah di bawah naungan Kementerian Agama (Kemenag) tidak diatur dalam SKB ini.
SKB 3 Menteri ini, lanjut Jumeri, justru melindungi hak dan kebebasan beragama sesuai dengan peraturan yang berlaku. Termasuk di dalamnya menyangkut pemakaian atribut keagamaan menurut keyakinan masing-masing peserta didik, seperti memakai jilbab untuk siswa muslim dan memakai kalung salib untuk umat kristiani di sekolah sebagai penanda agamanya.
“Sekali lagi ini jangan sampai ada informasi yang salah, SKB ini tidak boleh mewajibkan dan tidak boleh melarang, melainkan memberi kesempatan seluas-luasnya bagi peserta didik beraktivitas sesuai agama yang dianut,” tegas Jumeri, dikutip dari situs resmi kemdikbud.go.id, Ahad (13/2) siang.
Pewarta: Aru Lego Triono
Editor: Fathoni Ahmad