Nasional

Cerita Wartawan Foto NU Online Liput Demonstrasi

Kamis, 25 September 2025 | 05:00 WIB

Cerita Wartawan Foto NU Online Liput Demonstrasi

Massa aksi di depan Mako Brimob Kwitang (Foto: Suwitno)

Belakangan ini banyak terjadi demonstrasi di berbagai kota di Indonesia, tidak terkecuali Jakarta. Demonstrasi tersebut awalnya dipicu oleh kenaikan tunjangan tiap anggota DPR RI yang mencapai angka ratusan juta. 

 

Selain hal tersebut juga banyak hal-hal yang membuat rakyat berunjuk rasa. Publik juga menilai pernyataan dan perilaku yang kurang empati anggota dewan terhadap kondisi negeri yang sedang efisiensi.

 

Dimulai tanggal 25 Agustus, massa aksi menyuarakan tuntutan mereka di depan Gedung DPR RI, Senayan. Kemudian eskalasi aksi mulai meledak setelah ada sebuah tragedi seorang pengemudi ojol, Affan Kurniawan (21) yang meninggal dilindas kendaraan taktis (rantis) Brimob di lokasi aksi di Pejompongan pada Kamis 28 Agustus 2025.

 

Tragedi tersebut membuat berbagai komunitas ojol murka. Mereka berkumpul untuk berunjuk rasa di sekitaran Mako Brimob Kwitang, Senen, Jakarta. Saya memantau live streaming Tiktok dan benar saja di pertengahan malam, situasi Jakarta menjadi tegang dan mencekam.

 

Grup WhatsApp mendadak ramai, tanpa terkecuali grup Koordinasi redaksi NU Online. "Ya Allah ada driver ojol meninggal dilindas mobil rantis Brimob di Pejompongan," begitulah setidaknya bunyi pesan dari salah satu anggota grup.

 

Video terlindasnya Affan seketika langsung menyebar di berbagai platform media sosial. Memang tragis. Secepatnya saya membuat postingan untuk flashnews untuk Instagram NU Online News. 

 

Singkat cerita esok harinya, Jumat (29/8/2025) saya bersama teman saya Haekal Attar ditugaskan untuk meliput proses pemakaman Affan di TPU Karet Bivak, Jakarta Pusat.

 

Saya dan Haekal berangkat dari kontrakan saya di Paseban, Senen, Jakarta Pusat. Tetibanya di kontrakan, Haekal menangis melihat live streaming suasana rumah duka Affan.

 

"Gue nggak kuat, Wit melihat ibunya Affan menangis histeris. Gue bayangin kalau kejadian itu menimpa ibu gue gimana," kata Haekal dengan mata berkaca-kaca.


Sempat salah alamat rumah duka

Kemudian pukul 08.30 kita berdua berangkat ke alamat rumah duka di Jalan semangka III RT 14/RW 09, Jatipulo Palmerah Jakarta Barat. Tepatnya di seberang Pasar Tanah Abang.

 

Kami berdua menyusur setiap gang-gang sempit, bertanya ke setiap orang di mulut gang. Tetiba di alamat yang dituju saya bertanya ke seorang ibu-ibu. Ia menjawab "Kalau ini rumah kakeknya, Bang, setau saya Affan punya kontrakan di Menteng." 

 

Benar saja, ternyata alamat itu tidak valid, yang benar adalah di Jalan sepuh, Masjid Alfalah, Menteng dekat dengan Stasiun Sudirman. Karena kita sudah membuang-buang waktu akhirnya kita memutuskan langsung ke TPU Karet Bivak.

 

Benar saja di TPU sudah ramai oleh ribuan orang-orang memakai jaket hijau dan orange. Mereka memarkirnya motornya di sepanjang jalan pintu masuk TPU Karet Bivak. Tidak jauh dari pintu masuk, makam Affan sudah terlihat jelas dikerumuni oleh orang-orang yang melayat. Mulai dari komunitas ojol, publik figur, influencer, hingga pejabat. 

 

Terlihat keluarga Affan sangat terpukul, mereka terlihat lemas lunglai menangis sesenggukan. Saya tidak tega untuk mewawancarai mereka. Tapi saya harus mendapatkan informasi dari keluarganya, meminta tanggapan terkait tragedi tersebut.

 

Dapatlah seorang laki-laki yang terlihat tegar yaitu H Fahrudin (73), Kakeknya Affan, ia berharap agar polisi dapat menindak pelaku, terutama sang sopir kendaraan taktis (rantis) yang dipakai melindas tubuh Affan.

 

"Harapannya aparat pemerintah berjalan sesuai dengan fungsinya, memberikan keadilan seadil-adilnya," katanya.

 

Kemudian juga Fahrudin menceritakan bahwa Affan tidak ikut berdemontrasi, melainkan terjebak dalam situasi kawasan aksi saat mengantar pesanan di Pejompongan, pada Kamis (28/8/2025).

 

Kapolda Metro Jaya Irjen Asep Edi Suheri diteriaki pembunuh oleh massa ojek online (ojol) yang mengahdiri pemakaman pejuangan keadilan Affan Kurniawan di TPU Karet Bivak, Jakarta Pusat, pada Jumat (29/8/2025).

 

"Pembunuh. Pembunuh. Pembunuh. Pembunuh," riuh massa ojol.

 

Massa ojol yang tersulut juga sempat melempari Irjen Asep dengan botol yang berisikan air. Meski begitu, beberapa ojol juga menyerukan untuk menahan diri.

 

"Tahan! Tahan! Kita lawan balik di meja hukum," teriak ojol lainnya.

 

Irjen Asep yang tertunduk menangkupkan tangan sebagai simbol untuk meminta maaf kepada massa ojol. Karena panik, ia sempat kebingungan masuk ke dalam mobil untuk bergegas meninggalkan TPU Karet Bivak.

 

"Sudah. Sudah. Sudah. Kami minta maaf," katanya kepada massa ojol.

 

Begitu nyata kemarahan massa ojol terhadap tragedi meninggalnya rekan mereka. Saya yakin, mereka banyak yang tidak kenal dengan Affan, namun karena satu profesi yang menjadikan solidaritas mereka bersatu. Sampai di hari itu ribuan ojol mematikan aplikasi ojol mereka.

 

Seusai pemakaman, saya mendengar sekelompok driver ojol sedang bermusyawarah, langkah apa yang akan mereka lakukan seusai pemakaman.

 

Saya mendengar mereka bersepakat untuk pergi ke Mako Brimob Kwitang menyusul komunitas ojol lainya yang sudah berada di sana. 


Bergegas ke Mako Brimob Kwitang

Selepas shalat Jumat saya dan Haekal bergegas pergi ke lokasi aksi massa di depan Mako Brimob Kwitang, Senen. Namun sebelum ke lokasi aksi saya dan Haekal memutuskan untuk mengisi perut terlebih dahulu. 

 

Soto mie Bogor dan es oyen Kepu Kemayoran yang terletak tak jauh dari Stasiun Senen cukup membuat kenyang perut yang keroncongan dan memulihkan tenaga untuk meliput aksi.

 

Sesampainya di Simpang Lima Senen, massa aksi sudah memadati Jalan Kwitang arah Mako Brimob. Pasta gigi (odol) sudah menghiasi muka para demonstran. Berbagai usia, masyarakat memadati sepanjang Jalan Habib Ali Kwitang tersebut.

 

Suara sirine ambulan bersahutan. Satu-satu demonstran berjatuhan terkena gas air mata. Tim medis berjibaku mengguyur air ke muka dan memasang oksigen. Ada juga beberapa yang terluka di bagian kepala. Sangat mencekam. Sementara suara bom molotov dan petasan dari demonstran bersahutan dengan suara gas air mata dari aparat.

 

Sembari mengabadikan momen-momen tersebut, saya dan Haekal bergerak ke tengah mendekati Mako Brimob. Dengan memakai helm saya bergerak dan mengambil angle foto persis di depan Mako Brimob sementara Haekal entah di mana posisinya saat itu. Saya dan Haekal terpisah.

 

Saya sadar, sebagai pers saya tidak mengenakan Alat Pelindung Diri (APD) yang lengkap. Setidaknya untuk melindungi mata dan muka saya, saya meminta odol (pasta gigi) kepada demonstran lainya.

 

"Bang, saya minta odol dong, lupa nggak pakai," kata saya.

 

"Ini, Bang, pakai saja," kata salah satu demonstran yang saya tidak sempat tau namanya.

 

Dengan memakai odol, katanya bisa menetralisir kandungan gas air mata. Namun semakin saya mendekati titik aksi, justru mata semakin perih.

 

Jam menunjukkan sekitar pukul 14.00 WIB. Aksi massa semakin memenuhi arena depan Mako Brimob. Massa aksi terus melempari Mako Brimob dengan berbagai benda keras. Beberapa kali terdengar suara petasan. "Pembunuh, pembunuh, pembunuh, pembunuh, pembunuh," riuh massa aksi.

 

Lensa saya sudah berada pada posisi angle yang pas namun seketika intensitas makin memanas, sekitar pukul 14.50 polisi mulai menembakkan gas air mata. Tepat gas air mata jatuh di depan saya. 


Berlari Mengamankan Diri

Massa aksi berhamburan berlarian tak beraturan. Semuanya sudah terpapar gas air mata. Tak peduli mereka lari dan menginjak apa yang mereka lewati. Gas air mata yang ditembakkan polisi sangat pekat meski berjarak lebih dari 100 meter dari pusat aksi.

 

Badan saya gemetar, mata perih, napas sesak. Perut yang sudah terisi soto mie Bogor dan es oyen harus digojlok, hingga terasa mual. 

 

"Astaghfirullah. Ya Allah. Ampuni saya, mungkin ini sudah waktunya. Tapi kalau bisa selamatkan saya ya Allah," dalam hati saya terus berdoa, mengucapkan shalawat.

 

Tiba-tiba sosok orang tua, keluarga, tema dan calon isteri terbayang begitu saja. Saya setengah pasrah, tapi juga berusaha menyelamatkan diri. Karena saya teringat kata Pemimpin Redaksi NU Online Ivan Aulia Ahsan bahwa 'tidak ada berita seharga nyawa'. 

 

Saya tidak mungkin lari lurus menuju halte Senen, karena massa sudah berhamburan dan tak karuan. Akhirnya setelah saya berlari sejauh 100 meter, saya memutuskan untuk belok kanan. Dengan sekeliling massa lainnya saya memasuki sebuah penginapan yang saya lupa namanya.

 

Mereka mencari air kran untuk membasuh muka, dan menetralisir gas air mata. Sementara saya mengambil satu botol air mineral di seorang pedagang asongan. Sampai saat ini saya lupa membayarnya.

 

Aparat terus menembakkan gas air mata. Beberapa massa melompat pagar. Saya tambah panik. Dengan inisiatif dan refleks, tangan saya membuka satu buah kamar di lantai dasar penginapan tersebut. Aman tidak ada orang yang menginap. 

 

Seorang demonstran laki-laki yang saya lupa namanya juga ikut masuk ke dalam. Sementara kita berdua aman di sini. 

 

"Abang dari mana, kita aman ya di sini. Kalaupun harus bayar nantinya nggak papa deh," kataku dengan napas ngos-ngosan.

 

"Ini, Bang dari Johar Baru, udah bang sementara kita di sini dulu, dengar kan polisi masih menembakkan gas air mata," kata dia.

 

Napas yang sempat mau hilang, perlahan segar kembali ketika pintu ditutup dan terkena AC. Saya mencoba rebahan untuk menenangkan diri sembari membuka gawai dan melihat kabar Haekal.

 

"Wit, kamu di mana, aman nggak. Aku ke kantor dulu ya, ada kuliah juga. Atau aku tunggu nih, di parkiran motor yang tadi" kata Haekal saat tak telpon balik. Maklum dia mahasiswa baru Magister UI jadi harus semangat kuliah.

 

"Oke, Kal, sementara ini saya aman, di hotel nih,kalaupun keluar, gas air mata masih ditembakkan terus, udah kaya perang," kataku kepada Haekal.

 

"Widih, enak dong di hotel. Yaudah amankan diri dulu, nanti kalau situasi reda segera ke kantor," kata Haekal. 

 

Waktu menunjukkan hampir jam empat sore. Hampir satu jam saya berada di kamar hotel. Sementara seorang demonstran laki-laki tadi sudah keluar duluan, setelah ditelpon temanya. 

 

Eskalasi tembakan gas air mata mulai berkurang. Tiba-tiba ada lelaki paruh baya yang membuka kamar. Saya kira aparat, ternyata mereka petugas hotel.

 

"Woy, Bang, keluar dong, jangan di sini," kata dia.

 

Saya memutuskan untuk keluar. Akan tetapi, saya tidak berani untuk keluar lewat lobby hotel depan, karena sama saja melewati titik panas aksi. Terpaksa, pagar yang tingginya dua meter itu saya lompati. Selamat.

 

Saya berhasil keluar lewat gang. Di pintu gang itu, ada beberapa laki-laki dewasa dengan badan agak tegap, seragam kemeja putih.

 

"Siapa kamu, kok lompat pagar," kata salah satu dari mereka.

 

"Saya wartawan bang, lompat pagar karena menyelamatkan diri dari gas air mata," kata saya. 

 

"Yaudah sana makanya pulang! Pulang!" kata mereka.

 

Saya tidak tau mereka siapa. Yang jelas bukan massa aksi dan sepertinya bukan aparat. Hanya saja posturnya agak tegap. Anggap saja satpam. 

 

Rasa penasaran saya dengan kondisi selanjutnya menyurutkanku untuk pulang. Alhasil langkah penyelamatan saya tertuju ke Rumah Sakit Kramat 128, yang jaraknya satu kilo dari Mako Brimob.

 

Waktu menunjukkan pukul 16.30 WIB. RS Kramat 128 dipenuhi massa aksi yang membutuhkan perawatan. Ambulan datang silih berganti. Pasien luber hingga ke halaman rumah sakit. Momen tersebut tak luput dari jepretan kamera saya. 

 

Ada yang sesak napas, kepala bocor, kaki lecet, hingga tak sadarkan diri. Menurut keterangan dari pihak rumah sakit, saat itu sudah lima puluh orang yang dirawat. Belum pasien korban aksi yang dirawat di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta.

 

Grup WhatsApp kantor tiba-tiba ramai. Direktur Utama NU Online meminta saya untuk segera pulang ke kantor, karena situasi tidak memungkinkan. Akhirnya menjelang petang saya pun memutuskan untuk pulang. 

 

Setelah saya pulang situasi tak kunjung padam, bahkan massa semakin berdatangan. Jalan Senen-Kramat Raya dipenuhi massa. Situasi sudah tak sehat. Badan sudah capek. Saya memutuskan memantau melalui live streaming medsos. Benar saja, Halte Busway Senen, Polres Jakarta Timur, dan beberapa fasilitas umum lainnya terbakar. Aksi kali ini sungguh luar biasa dan sudah tidak bisa dikontrol.