Nasional

Dari Begadang Inshomniyah hingga Malam Seribu Budaya

Kamis, 8 Juni 2017 | 12:01 WIB

Dari Begadang Inshomniyah hingga Malam Seribu Budaya

Candra Malik (berjaket Banser) pada Begadang Inshomniyah di Cirebon

Cirebon, NU Online
Candra Malik, budayawan sufi, punya cara tersendiri untuk mensyukuri dan menyemarakkan Ramadan 1438 H. Wakil Ketua Lembaga Seni dan Budaya Muslim Indonesia pada Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (Lesbumi PBNU) ini mengadakan safari silaturahmi ke berbagai daerah di Indonesia sepanjang bulan. 

Setelah usai menggarap produksi 30 episode taushiyah dua menitan bertajuk Hadiah Ramadan, yang audionya disebarkan ke 100 lebih radio dan video-nya diunggah ke Youtube, serta 10 episode video tanya-jawab yang disiarkan di Commuterline Jabodetabek, Gus Can -- demikian panggilan akrabnya - mulai berkeliling dari Solo pada 2 Juni, Yogyakarta 4 Juni, Surabaya 5-6 Juni, Cirebon 7 Juni dan Subang 8 Juni.

Bertajuk Begadang Inshomniyah, Gus Can mengadakan dialog publik di Kedai Saung Juang Cirebon dan Sanggar Ringkang Nonoman Subang, Rabu dan Kamis malam, 7-8 Juni. Dibuka dengan menyanyikan lagu kebangsaan Indonesiq Raya, ia mengajak masyarakat untuk mencintai tanah air dan menjaga kebangsaan Indonesia. "Mencintai Indonesia adalah mencintai jatidiri kita sebagai anak bangsa. Mencintai Islam adalah mencintai jatidiri kita sebagai hamba Allah. Satu dan lainnya tidak saling terpisah dan justru saling menguatkan," ungkapnya kepada publik.

Bagi Gus Can, begadang adalah hal positif yang bisa dimanfaatkan untuk i'tikaf, mendaras Al-Qur'an, berzikir, shalat malam, maupun bercengkerama untuk saling belajar. Inshomniyah, dalam kegiatan Begadang Inshomniyah, diambilnya dari kata insomnia, yang sejak beberapa tahun terakhir digunakan untuk nama sebuah tarekat prakarsanya, yaitu Thariqat Al Inshomniyah, majelis di dunia maya khusus untuk malam hari.

Candra Malik tidak hanya gerilyawan di dunia maya, namun juga di dunia nyata. Ia berhasil memadukan keduanya untuk menggaungkan lebih jauh lagi seruan-seruan Cinta dan Kasih Sayang. Ia menjadikan diri sendiri sebagai episentrum gerakan walau itu berarti Gus Can harus selalu berdaya hidup. Bukan kebetulan jika ia memang sangat suka berkelana keliling daerah. 

Dikenal sebagai seorang pejalan spiritual, Gus Can bergerilya dari empat penjuru gerakan untuk mengajak pada cinta dan kasih sayang. Keempatnya ialah spiritualitas, seni, sastra, dan humaniora. Melalui linimasa, ketika malam telah menyisir dinihari, para pengikut akunnya, yaitu @CandraMalik, acap menanti Gus Can membuka pintu gerbang Thariqat Al Inshomniyah dengan kicau-kicaunya.

Begadang Inshomniyah adalah momen bagi publik dunia maya dan nyata untuk bertemu langsung dengan sosok Sang Mursyid Thariqat Al Inshomniyah: Gus Can. Dalam safari Ramadhan ke enam kota, yaitu Solo, Yogyakarta, Surabaya, Tangerang, Bali, dan Mataram, kegiatan ini dikemas dalam tiga pokok. Yaitu Saloka, Salik, dan Suluk; yang masing-masing mengenai kearifan, kesungguhan, dan kesetiaan pada nilai-nilai moral.

SALOKA, Sebuah Dialog
Saloka adalah nilai-nilai budi pekerti luhur yang berakar dari ajaran para leluhur, yang dilisankan. Ia lebih luas daripada peribahasa karena mendorong manusia untuk lelaku hidup manusia. Terkandung tidak hanya ajaran diri dan semesta, di dalamnya juga hidup legenda dan mitos. 

Dalam Sesi Saloka, tokoh masyarakat memaparkan legenda dan mitos dari daerah yang disinggahi Gus Can dalam Begadang Inshomniyah. Di dalamnya, ia juga menyampaikan untaian kata-kata luhur yang diwariskan turun-temurun, baik secara lisan maupun tulisan.

Kemudian, tokoh ini membaca zaman. Ia menuturkan keadaan masyarakat beserta pergeseran tata nilai kehidupannya. Tidak untuk menghakimi, namun untuk memilih dan memilah mana yang baik dan mana yang perlu diperbaiki demi kemaslahatan bersama. Dialog menjadi kunci utama.

SALIK, Sebuah Persembahan
Salik adalah manusia yang memilih jalan suluk untuk mencapai saloka. Jika suluk ibarat ilmu dan saloka cahayanya, maka salik adalah pembelajar. Ia tidak hanya menimba ilmu, namun juga membasuh dirinya dengan cahaya ilmu. Caranya adalah dengan mengamalkannya. 

Dalam Sesi Salik, para seniman muda menampilkan kesenian setempat atau kesenian yang telah melebur di dalam masyarakat, yang tentu saja memuat suluk dan saloka. Bisa pembacaan syair, lantunan lagu, permainan, atau lakon reportoar lainnya. Bisa pula kolaborasi.

Juga pada kesempatan ini, Gus Can dan para punggawa musiknya tampil dalam formasi akustik. Membawakan Kidung Sufi dan lagu-lagu terbaru, sesi ini jadi medium penghubung yang lebih luwes antara Gus Can dan audiens. Sebisa mungkin, jarak telah diatasi sejak awal.

SULUK, Sebuah Renungan
Suluk ialah lelaku hidup yang disarikan dari Saloka, perjalanan dan pengalaman hidup. Butuh kesetiaan dan kesabaran; atau jamak disebut istiqamah, untuk bisa mengendapkan diri menjalani suluk. Tak lagi hanya membicarakan kebenaran dan kebaikan, suluk mengutamakan kearifan.

Dalam Sesi Suluk, Gus Can berbagi hal-hal tentang Tasawuf yang telah menjadi lelaku hidupnya lebih dari separuh usia. Pengetahuan dan pengalaman belajar kepada mursyid, aerta perjumpaan dan perpisahan dengan handai taulan dan sahabat, menjadi tema perbincangannya.

Tentu saja, Gus Can membuka ruang dialog dengan audiens -- dan bukankah ini yang semakin menghangatkan malam? Kegiatan ini terbuka untuk siapa pun dari latar belakang apa pun karena Gus Can memang meyakini keberagaman sebagai khazanah semesta yang wajib dirawat.

Ramadan dalam Perjalanan
Berbeda dengan kebanyakan orang, Gus Can menikmati Ramadan bukan di rumah bersama keluarga, melainkan di dalam perjalanan. Selesai dari Subang, ia meneruskan safari Ramadan ke Jakarta dengan menggelar pertunjukan bertajuk Musikalisasi Sastra di Galeri Indonesia Kita, 9 Juni, bersama penyair Hasan Aspahani dan musisi Ary Juliant. Pada 11 Juni, ia akan tampil bersama Dik Doank dan Komunitas Kandank Jurank Doank di Tangerang.

Selanjutnya, ia akan menyeberang ke Bali untuk bersilaturahmi dengan masyarakat kampung muslim di Pulau Dewata. Pada 14 Juni, ia diundang oleh Menteri Agama Republik Indonesia KH Lukman Hakim Syaifuddin untuk menyampaikan ceramah dalam acara buka bersama pegawai Kementerian Agama di Jakarta. Pada 15 Juni, Gus Can menggelar dialog publik berjudul Malam Seribu Budaya di Mataram, Nusa Tenggara Barat. Ia akan mengakhiri tur pada 17-18 Juni dengan sebuah konser di Tasikmalaya. (Red: Abdullah Alawi)


Terkait