Definisi Bahagia menurut Gus Baha: Tak Harus Jadi Pejabat Negara dan Bergelimang Harta
Jumat, 8 Maret 2024 | 07:15 WIB
Jakarta, NU Online
Pengasuh Pondok Pesantren Tahfidzul Qur'an Lembaga Pembinaan, Pendidikan, dan Pengembangan Ilmu Al-Qur'an (LP3iA) KH Ahmad Bahauddin Nursalim (Gus Baha) menyampaikan bahwa definisi bahagia sangatlah luas dan tidak sempit berdasarkan pandangan satu kelompok.
Bagi Gus Baha, bahagia tidak harus menjadi pejabat negara, memiliki kendaraan bagus atau pun bergelimang harta. Sebab setiap manusia bisa menciptakan kebahagiaannya sendiri sesuai kondisi masing-masing, tanpa harus mengganggu orang lain.
"Selama ini kita sering salah membuat definisi bahagia. Bahagia itu ketika jadi dosen, jadi rektor, jadi menteri, sehingga orang itu tidak sempat bahagia dengan kesehariannya. Padahal bahagia tidak harus begitu," katanya seperti dikutip dari akun Youtube Universitas Gadjah Mada, Kamis (7/3/2024).
Gus Baha lalu memaparkan, terkadang seseorang yang dianggap bahagia dengan memiliki jabatan tinggi di struktur pemerintahan belum tentu bahagia. Sebab setiap hari bergelut dengan setumpuk tugas dari pagi hingga pagi. Bahkan, tidak bisa menikmati waktu bersama keluarga dan istirahat di rumah.
"Sementara jadi pejabat pagi-pagi harus ke kantor, disuruh ini dan itu. Jadi menteri disuruh-suruh presiden. Kadang tidak bisa istirahat dan ngopi," tutur salah seorang Rais Syuriah PBNU itu.
Gus Baha menjelaskan, bahagia adalah milik semua makhluk Allah. Tidak penting latar belakang dan status sosialnya. Cara bahagia pun ada banyak cara. Orang kecil juga bisa bahagia. Pagi-pagi bisa santai. Mau ngopi dan istirahat sesuka hati.
"Bahagia seperti ini jangan ditolak, biarkan saja. Jadi itu penting mengelola kebahagiaan. Bahagia itu harus dilatih," imbuhnya.
Ulama asal Rembang, Jawa Tengah ini menambahkan bahwa bahagia versi kekasih Allah adalah bisa melakukan sujud dan selalu dekat dengan Allah. Meskipun kehidupannya sederhana, asal bisa beribadah dan bebas sujud kepada Allah, maka hal itu sudah sangat bahagia.
Namun, Gus Baha menegaskan jika ia tidak memaksa seseorang untuk mengikuti model waliyullah. Semua tergantung kemampuan masing-masing individu sehingga tidak terbebani.
"Syukur-syukur bisa bahagia seperti waliyullah, yaitu bahagia ketika sujud kepada Allah. Kalau tidak bisa, ya latihan yang mudah-mudah saja," tutupnya diiringi gelak tawa.