Deretan Kasus Polisi 3 Bulan Terakhir: dari Sambo, Kanjuruhan, hingga Teddy Minahasa
Rabu, 19 Oktober 2022 | 14:30 WIB
Jakarta, NU Online
Kepolisian Republik Indonesia (Polri) mendapat sorotan dalam tiga bulan terakhir. Hal itu setelah mencuatnya dua kasus besar yang menyeret kepolisian yakni pembunuhan Brigadir Polisi Nofriyansyah Yoshua Hutabarat atau Brigadir J oleh Irjen Ferdy Sambo dan tragedi Kanjuruhan. Terbaru penangkapan Irjen Pol Teddy Minahasa terkait kasus peredaran narkoba.
Pertama, kasus Ferdy Sambo kaitan dengan pembunuhan Brigadir Polisi Nofriyansyah Yoshua Hutabarat atau Brigadir J. Kasus ini mencuat karena ada upaya pembelokan fakta yang diduga dirancang Irjen Pol Ferdy Sambo.
Baca Juga
Ketika Polisi Hentikan Mobil Gus Dur
Berita awal menyebut kematian Brigadir J karena terlibat baku tembak dengan Bharada Richard Eliezer di rumah dinasnya di Kompleks Polri Duren Tiga, Jakarta Selatan, Jumat (8/10/2022). Namun pada 9 Agustus 2022 Kapolri mengumumkan bahwa penyidik menetapkan Ferdy Sambo sebagai tersangka pembunuhan Brigadir J. Selain Sambo, kasus ini juga melibatkan Bharada E, Ricky Rizl atau Bripkas RR dan Kuat Ma’ruf dan istri Sambo yakni Putri Candrawathi.
Kelimanya disangkakan perbuatan pembunuhan berencana dan dijerat Pasal 340 subsider Pasal 338 juncto Pasal 55 dan Pasal 56 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Ancaman pidananya maksimal hukuman mati, penjara seumur hidup, atau penjara selama 20 tahun.
Tak hanya pembunuhan, kematian Brigadir J juga berbuntut pada kasus obstruction of justice atau tindakan menghalang-halangi penyidikan yang menyeret sejumlah Polri di antaranya Brigjen Hendra Kurniawan, Kombes Agus Nurpatria, AKBP Arif Rachman Arifin, Kompol Biquni Wibowo, Kompol Chuck Putranto, dan AKP Irfan Widyanto.
Mereka dijerat Pasal 33 dan/atau Pasal 48 ayat 1 juncto Pasal 32 ayat 1 UU Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik sementara ancamannya bisa 8 hingga 10 tahun penjara.
Tragedi Kanjuruhan
Belum selesai perkara Sambo, kinerja Polri disorot lantaran melanggar kode etik Polri yakni menembak gas air mata ke arah tribune saat terjadinya kerusuhan di Stadion Kanjuruhan Malang usai laga Arema dan Persebaya Surabaya. Akibatnya, masa berhamburan keluar dan berdesakan hinga kehabisan oksigen dan menewaskan 132 suporter Arema Malang serta ratusan lainnya alami luka-luka. Aparat juga melakukan kekerasan terhadap supporter Arema FC di Stadion Kanjuruhan Malang.
Polisi saat ini menetapkan enam tersangka tiga di antaranya dari kepolisian yaitu Kabag Ops Polres Malang Kompol Wahyu Setyo Pranoto, Kasat Samapta Polres Malang AKP Bambang Sidik Achmad, dan Komandan Kompi Brimob Polda Jawa Timur AKP Haasdarman. Mereka dikenakan sangkaan pasal 359, Pasal 360 KUHP atau Pasal 103 ayat 1 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 dengan penjara paling lama lima tahun.
Hasil Investigasi Tim Gabungan Independen Pencari Fakta (TGIPF) menyebutkan jatuhnya ratusan korban jiwa dalam tragedi Kanjuruhan disebabkan tembakan gas air mata. Hal ini disampaikan Ketua TGIPF Mahfud MD dalam keterangan pers di Jakarta, Jumat.
“Yang mati dan cacat serta sekarang kritis dipastikan itu terjadi karena desak-desakan setelah ada gas air mata yang ditembakkan. Itu penyebabnya,” kata Mahfud MD.
Kasus Teddy Minahasa
Belum tuntas pengadilan kasus Ferdy Sambo, masyarakat dihebohkan kabar tertangkapnya seorang jenderal polisi berbintang dua karena terlibat peredaran narkoba jenis sabu seberat 5 kg. Kabar itu bersamaan pengarahan perwira polisi oleh Presiden Joko Widodo di Istana Negara Jakarta pada Jumat (14/10/2022).
Direktur Reserse Narkoba Polda Metro Jaya Kombes Mukti Juharsa dalam konferensi pers di Polres Jakarta Pusat menyebut sudah ada 3,3 kg barang bukti yang diamankan dan 1,7 kg sabu diedarkan di Kampung Bahari. Sementara itu, sabu seberat 5 kg yang diedarkan merupakan bukti hasil pengungkapan kasus narkoba di Mapolres Bukitinggi. Sabu tersebut diduga diambil secara diam-diam oleh anggota Polda Sumatera Barat AKBP D, dan diganti dengan tawas.
Terungkapnya kasus ini berawal dari laporan masyarakat sipil terkait adanya jaringan peredaran gelap narkoba oleh Polda Metro Jaya. Atas dugaan tersebut Divisi Profesi dan Pengamanan (Propam) Polri lantas menjemput dan melakukan pemeriksaan terhadap Teddy dan dinyatakan sebagai terduga pelanggar.
Teddy dijerat dengan Pasal 114 ayat 2 subsider Pasal 112 Ayat 2, juncto Pasal 132 Ayat 1, juncto Pasal 55 Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 dengan ancaman hukuman mati dan miniml 20 tahun.
Sebelumnya, Kapolda Sumbar, Irjen Teddy Minahasa diduga meminta mantan Kapolres Bukittinggi AKBP Dody Prawiranegara menyisihkan barang bukti narkoba jenis sabu seberat 41,4 kilogram di Polres Buktitinggi beberapa waktu lalu.
Buntut kasus sabu-sabu Teddy Minahasa, Divpropam Mabes Polri memanggil lima personel kepolisan di wilayah hukum Polda Sumatera Barat. Ini berkaitan kasus dugaan penyisihan barang bukti narkoba seberat lima kilogram. Kabid Humas Polda Sumbar Kombes Dwi Sulistya mengatakan kelimanya berpangkat Kompol, AKP, Iptu hingga Brigadir.
Problem besar di tubuh kepolisian
Sebelumnya, Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Mohamad Syafi’ Alielha (Savic Ali) mengatakan polisi akhir-akhir ini melanggar hukum dengan level yang luar biasa. Mulai dari kasus kematian Brigadir Josua Hutabarat yang melibatkan eks Kepala Divisi Propam Polri Ferdy Sambo, lalu kekerasan aparat kepolisian di Stadion Kanjuruhan Malang, Jawa Timur, hingga terlibat dalam jaringan perdagangan narkoba.
“Saya kira ini realitas yang menyingkapkan pada kita betapa memang ada problem besar di tubuh kepolisian Indonesia,” kata Savic di Asrama Haji Sukolilo, Surabaya, Sabtu (15/10/2022).
Savic menjelaskan, salah satu keberhasilan sebuah negara hukum sehingga semua rakyat merasa senang dan adil adalah harus memiliki penegak hukum yang benar-benar mempraktikkan hukum yang berlaku, bukan justru melanggarnya.
“Kalau penegak hukumnya justru menjadi aktor-aktor yang selalu melanggar prinsip-prinsip negara hukum ya itu akan menciptakan krisis kepercayaan yang bisa memicu level krisis kepercayaan terhadap pemerintah secara umum,” jelas Savic.
Dampak paling serius dari krisis kepercayaan masyarakat terhadap aparat penegak hukum yang kerap melanggar hukum adalah akan terjadi banyak pelanggaran-pelanggaran hukum. Hal itu berpotensi terjadi karena sudah tidak ada lagi aturan yang harus dihormati, lantaran penegak hukumnya sendiri melanggar hukum.
“Kalau aturannya saja dilanggar oleh para penegak hukum sendiri, bagaimana rakyat bisa diharapkan untuk menjadi warga yang taat hukum? Itu problem ketika hukum sudah benar-benar tidak dihormati, ketika hukum sudah tidak diakui, dan itu akan menjadi bencana buat masyarakat demokratis,” tegasnya.
Kontributor: Suci Amaliyah
Editor: Syakir NF