Deretan Konflik Agraria Terbaru: dari Rempang, Pohuwato, hingga Seruyan
Ahad, 24 September 2023 | 18:09 WIB
Jakarta, NU Online
Konflik agraria terus terjadi di berbagai daerah, meski pemerintah mencanangkan perombakan besar di bidang pertanahan. Intimidasi, kekerasan, dan kriminalisasi masih mewarnai berbagai perselisihan tanah. Redistribusi aset yang digadang pemerintah jadi solusi sengketa agraria ternyata tak mampu mengurangi pelestarian agraria. Alih-alih mengurangi, justru konflik agraria di Indonesia semakin meningkat.
Direktur Jaringan Gusdurian, Alissa Wahid mengatakan, semua kasus seperti ini berasal dari persoalan cara memandang rakyat dalam agenda pembangunan. Di tempat-tempat berbeda itu, rakyat tidak ujug-ujug marah.
"Ketika tanah mereka diambil, baik dengan intimidasi soft maupun kasar, wajar rakyat mulai melawan. Mereka tidak butuh orang luar. Naiflah yang menganggap rakyat tidak punya nurani, nalar dan kearifannya, sehingga butuh provokasi dari luar untuk berjuang," ujar Alissa melalui akun X @AlissaWahid, Ahad (24/9/2023).
Alissa menceritakan pengalamannya bertemu pejabat negara yang kerap memojokkan rakyat sebagai orang-orang lemah dan tak paham kepentingan bangsa dan negara. Para pejabat ini, imbuh Alissa, menganggap urusan tanah hanya urusan harga yang lebih tinggi. Bukan soal jatidiri, sejarah, dan penghidupan sang rakyat.
"Selama rakyat dipandang rendah dan lemah, boleh dikorbankan, atas nama pembangunan yang berpihak hanya pada keleluasaan bisnis, selama itu pula kisah-kisah tragis seperti Pubabu, Pohuwato, Kendeng, Rembang, Sukolilo Kendal, Lampung, dan Rempang akan terus terulang. Sampai kapan?" kata Alissa.
Dalam cuitannya itu, Alissa juga menuliskan pengalamannya menemui warga Wadas yang mendapatkan ganti rugi dari proyek strategis nasional (PSN) dengan iming-iming tanah di Wadas milik negara.
"Waktu ketemu warga di Wadas, saya tanya kepada yang menerima tanahnya diambil negara dengan ganti rugi. Ibu-ibu kemarin memutuskan menerima, ceritanya bagaimana? Mereka menjawab: Kata bapak-bapak itu, semua tanah itu milik negara. Dan ini mau diambil."
"Lha ibu-ibu punya sertifikat?" tanya Alissa.
"Punya!"
"Kalau begitu ya bukan tanah Negara. Itu punya Ibu-ibu sendiri."
"Ndak kok mbak. Kata bapak-bapak itu, rakyat itu nyewa kok. Nyatanya kami kan tiap tahun bayar pajak. Itu kan biaya sewa supaya bisa memakai tanahnya."
Baca Juga
NU dan Konstitusionalisme Agraria
"Ya Allah, saya sedih banget waktu denger ini. Misleading sekali."
Komnas HAM mencatat, dalam kurun delapan bulan terakhir eskalasi masif konflik agraria di berbagai lokasi di Indonesia mencapai 692 kasus. Jumlah ini setara dengan 4 kasus per hari yang dilaporkan ke Komnas HAM. Komnas HAM juga menyinggung sederetan konflik yang terjadi dalam delapan bulan terakhir secara masif terkait proyek strategis nasional (PSN). Misalnya yang terkini konflik di Pulau Rempang, Kota Batam, Propinsi Kepulauan Riau.
Kawasan yang telah lama dihuni oleh masyarakat adat tersebut hendak dijadikan proyek strategis nasional (PSN) Rempang Eco City oleh negara. Namun, proyek tersebut menuai penolakan masyarakat Pulau Rempang sehingga terjadi kericuhan dan bentrok antara warga dan aparat pada Kamis (7/9/2023).
Konflik agraria di Pulau Rempang bermula ketika Badan Pengusaha (BP) Batam berencana merelokasi seluruh penduduk Rempang. Hal itu dilakukan untuk mendukung rencana pengembangan investasi di Pulau Rempang.
Kawasan ini diestimasikan memperoleh investasi sebesar Rp381 triliun hingga tahun 2080. Dalam rencana pembangunannya, Pulau Rempang yang luasnya sekira 17.000 hektar akan dibangun menjadi kawasan industri, perdagangan dan wisata. Tujuannya mendongkrak pertumbuhan perekonomian dan peningkatan daya saing Indonesia dengan Malaysia dan Singapura.
Tujuh zona yang nanti akan dikembangkan antara lain zona industri, zona agro-wisata, zona pemukiman dan komersial, zona pariwisata, zona hutan dan pembangkit listrik tenaga surya, zona margasatwa dan alam serta zona cagar budaya.
Terbaru, konflik di Pohuwato, Gorontalo. Buntut dari ketidakpuasan warga akan kinerja pemerintah dalam pembagian lahan dalam wilayah konsesi tambang emas Pani Gold Project yang diklaim sebagai warisan keluarga turun temurun, 2.500 pengunjuk rasa menggelar aksi di Kantor Bupati Pohuwato Gorontalo. Dilaporkan, 11 orang polisi luka-luka dan cedera akibat kerusuhan yang mengakibatkan kebakaran di Kantor Bupati Pohuwato, Gorontalo.
Konflik agraria sebelumnya juga terjadi di Seruyan, Kalimantan Tengah pada Kamis (6/7/2023). Warga melakukan protes terhadap perusahaan perkebunan sawit karena plasma sawit tak kunjung diberikan perusahaan sehingga berujung ricuh, ditambah lagi kerabat mereka ditangkap dan dituduh mencuri sawit.
Warga meminta kewajiban perusahaan memberikan kebun plasma seluas 20 persen kepada masyarakat yang belum dipenuhi oleh pihak perusahaan. Sayangnya, aksi itu berakhir kisruh. Ratusan massa di Kabupaten Seruyan, Kalimantan Tengah terjadi bentrokan dengan polisi saat unjuk rasa di areal kebun sawit PT Bangun Jaya Alam Permai (BJAP).
Hasil Munas dan Konbes NU 2023
Masalah pengelolaan sumber daya alam (SDA) menjadi bahasan di Komisi Rekomendasi Musyawarah Alim Ulama dan Konferensi Besar Nahdlatul Ulama yang digelar di Asrama Haji Jakarta pada 18-19 September 2023 lalu.
Koordinator Komisi Rekomendasi Ulil Abshar Abdalla mengatakan, ada masalah serius di dalam pengelolaan sumber daya alam (SDA) di Indonesia. Pengelolaan sumber daya alam yang dikelola negara dilakukan dilaksanakan dengan cara yang mengabaikan aspirasi-aspirasi publik dan masyarakat.
Oleh karena itu, NU mendorong agar pemerintah dan pihak-pihak yang lain berusaha mencapai konsensus nasional di dalam pengelolaan sumber daya alam (SDA).
"Konsensus ini harus melibatkan semua pihak di dalam menentukan arah kebijakan yang adil dan bermaslahatan bagi semua pihak tidak boleh pengelolaan sumber daya alam hanya didikte oleh satu kelompok saja terutama kelompok yang menjadi penguasa modal," kata Ulil membacakan hasil rekomendasi Munas-Konbes NU 2023.
Kemudian terkait kekerasan dalam sengketa lahan, Munas-Konbes 2023 menegaskan beberapa poin penting terkait masalah agraria, termasuk di Pulau Rempang di antaranya: Perampasan tanah yang menjadi hak milik rakyat dinyatakan haram hukumnya.
Pemerintah dan pihak lain, khususnya korporasi, harus menempuh pendekatan dialog dan persuasif. Kepentingan ekonomi tidak boleh merugikan hak-hak rakyat kecil. Dan, semua pihak yang terlibat dalam konflik agraria diimbau untuk menenangkan diri sambil mendengarkan aspirasi rakyat.