Jakarta, NU Online
Novel Hati Suhita kini tengah menjadi sorotan publik lantaran karya sastra ini dipinang salah satu rumah produksi starvision untuk difilmkan. Sebelumnya, novel ini merupakan sebuah cerita bersambung pada 2019 yang lahir dari kegelisahan penulis, Khilma Anis.
“Suhita lahir di tahun politik kalau tidak salah waktu itu di tahun 2019. Mulanya saya iseng di tengah situasi politik yang saat itu sangat panas, setiap hari bahkan detik orang-orang di media sosial lagi perang calon presiden saya mencoba menghadirkan sebuah kisah dengan cerita bersambung yang saya upload di Facebook,” tutur Khilma kepada NU Online, Selasa (23/8/2022).
Di luar jangkauan Ning Khilma, sapaan akrabnya, cerita bersambung itu kemudian dibaca banyak orang dan mendapat apresiasi. Akhirnya atas permintaan pembaca di laman media sosialnya, cerita tersebut dilanjutkan kembali menjadi 13 bab.
“Karena saya bukan pemain baru di dunia penulisan, saya paham bahwa cerita dari bab satu ke dua dan seterusnya harus diikat biar orang bisa penasaran dan terus mengikuti, menunggu dan lain-lain,” terang Pengasuh Pesantren An-Nur Jember itu.
Ning Khilma kemudian menjelaskan mengapa novel Suhita banyak menggaet pembaca dari berbagai kalangan hingga dinobatkan menjadi salah satu novel best seller yang membangkitkan dunia sastra pesantren.
“Rasanya baru novel Suhita sebuah novel pesantren yang 50 atau 70 persen menjelaskan tentang sejarah, tradisi, budaya dan kekuatan perempuan. Jadi, kalau biasanya novel pesantren berkisah kehidupan abah kiai, bu nyai, ning dan gusnya. Kalau Suhita itu titik beratnya di kekuatan perempuan, sejarah, budaya, kemudian tradisi,” ungkapnya.
Lebih dari itu, Khilma dalam novelnya menggambarkan teori-teori baru tentang perempuan termasuk di antaranya nasihat di balik pepatah jawa bahwa perempuan harus mikul dhuwur mendem jero, harus mbekti (berbakti).
“Kalau orang-orang menggambarkan wanita itu “Wani Ditata” kalau Suhita tidak. Lahir dengan paradigma baru bahwa wanita itu “Wanitapa” berani bertapa. Di Suhita digambarkan bahwa perempuan yang kuat adalah yang bisa bertapa. Tapa itu adalah tenang, tangannya menelungkup terhubung dengan yang Maha Kuasa, dan yakin di telapak perempuan sebenarnya surga itu berada,” paparnya.
Khilma mengungkapkan bahwa Suhita lahirkan paradigma baru bahwa perempuan yang hebat bukan hanya mereka yang muncul di ranah publik, pandai memimpin, punya prestasi, atau menjadi nomor satu dalam segala hal.
Perempuan versi novel Suhita adalah siapa pun yang berani bertapa, mikul dhuwur mendem jero, tetap tenang terhubung dengan Yang Maha Kuasa apa pun masalah yang menimpanya. (Yang) menyebabkan Suhita moncer itu tidak tersegmentasi. Novel ini diperuntukkan bagi semua kalangan bukan hanya kalangan pesantren, tapi juga kalangan Jawa atau umum.
“Di novel itu, saya memang eksplore agar keluar dari zona nyaman pesantren dan bisa berkembang. Jadi memang saya mati-matian menghadirkan hal baru dalam novel itu agar anggun dan segar terutama karena Suhita ini tidak diproyeksikan untuk menjadi novel yang segmented agar bisa dinikmati semua kalangan,” jelasnya.
Suhita lebih dari sekadar lembar tinta
Bagi Novelis asal Jember, Jawa Timur itu, tantangan menulis Suhita bukanlah terletak pada cara menulisnya melainkan membacanya. Sebab, ia menginginkan novel Suhita tidak sekadar lembar tinta, tetapi harus menjadi novel yang memiliki nilai (value) mencerdaskan bangsa. Hal itu yang membuat Suhita menjadi istimewa di hati para penggemarnya.
“Bukan karena kisahnya karena itu sudah umum dan lazim di kalangan pesantren tapi dia (Suhita) istimewa karena referensinya sebab banyak hal yang saya kaji di situ. Saya nulis anti googling karena yang saya pelajari itu dari masa lalu. Di Google gak ada. Referensinya justru sering ke babad, serat dan ejaan lama yang belum pernah di update di Google. Jadi otentik, ori,” paparnya.
“Saya memang terus terang sebelum nulis Suhita concernnya memang tentang perempuan, sejarah, keris, filosofi jawa, dan budaya tradisi. Itu sudah concern lama. Jadi, ketika saya menulis, ya ini bukan barang baru lagi. Saya sudah tidak lagi bingung. Sebab itu sudah merasuk dalam pikiran saya bahkan seperti Wayang sudah hafal di luar kepala,” imbuhnya.
Kontributor: Suci Amaliyah
Editor: Syakir NF