Jakarta, NU Online
Di masa pandemi saat ini, ruang maya menjadi dominan diakses mengingat interaksi fisik sangat terbatas. Tak ayal, ruang digital di mana media sosial menjadi bagian di antaranya haruslah nyaman.
“Kita harus bisa mengupayakan ruang digital tersebut adalah ruang yang nyaman untuk kita berinteraksi,” kata Wakil Ketua Umum Siberkreasi Romzi Ahmad kepada NU Online pada Rabu (10/6).
Tentu pengguna media sosial atau warganet perlu memastikan cara bersosialisasi dengan orang-orang harus memiliki batasan tertentu.
“Yang perlu dilakukan adalah memastikan cara kita bersosialisasi dengan orang-orang, saudara kita, sahabat kita, ataupun kolega kita juga memiliki batasan-batasan sehingga tidak melukai atau menyinggung mereka,” katanya.
Sebab, lanjutnya, komunikasi yang dimediasi teknologi sangat berbeda dengan komunikasi konvensional, baik dalam konteks produksi informasi atau interpretasi dari informasi yang disampaikan. Hal itu mengingat ketiadaan tatap muka atau ekspresi, terlebih teks dengan teks.
“Dalam komunikasi face to face secara langsung, interaksi kita dengan seorang sahabat bisa berlangsung tanpa batas. Potensi menyinggung dan melukai sahabat kita juga kecil karena ada kesempatan untuk langsung klarifikasi atau saling meminta maaf,” ujar Direktur Pendidikan Ma’had Al-Shighor itu.
Romzi menjelaskan bahwa dalam komunikasi yang dimediasi teknologi konteksnya menjadi berubah. Pasalnya, kata-kata hadir tanpa ekspresi yang jelas yang memungkinkan adanya mis interpretasi dari tingkah sikap kita.
“Ini yang membuat sering kali pelaku cyber bullying (perundungan siber) tidak merasa melakukannya karena berpikir itu biasa dilakukan dalam komunikasi langsung,” pungkasnya.
Perundungan siber terjadi karena beragam faktor, seperti kesepian, egosentrisme, hingga kurangnya standar moral. Laras Bethari Rasukmasuci dan Maria Goretti Adiyanti menegaskan bahwa dasar moral yang kuat memberikan hukuman rasa bersalah secara tidak sadar jika ia melanggarnya. Sebaliknya, jika tidak memiliki moral yang cukup, orang yang melanggarnya tidak akan merasa bersalah.
“Kecenderungan untuk menjadi pelaku perundungan-siber bisa semakin meningkat tatkala remaja tak memiliki standar moral dalam proses regulasi diri,” kata akademisi dari Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada dalam jurnal Gadjah Mada Journal of Psychology Volume 5, No. 2, 2019, berjudul Kecenderungan Remaja menjadi Pelaku Perundungan-Siber: Kontribusi Harga Diri dan Kesepian.
Pewarta: Syakir NF
Editor: Fathoni Ahmad