Direktur SAS Institute: Disinfodemi Sebabkan Masyarakat Tak Disiplin Prokes
Ahad, 29 Agustus 2021 | 14:00 WIB
Jakarta, NU Online
Direktur Said Aqil Siroj (SAS) Institute, H Imdadun Rahmat mengatakan, disinfodemi (pandemi disinformasi) tentang Covid-19 membuat masyarakat tidak disiplin mematuhi protokol kesehatan (prokes). Menurut dia, ada beberapa faktor yang menyebabkan masyarakat tak disiplin.
Pertama, korban hoaks. “Inilah yang menyebabkan informasi protokol kesehatan semakin menyebar luas dan menjadi acuan awal bagi publik,” kata Imdad saat mengisi diskusi virtual Diaspora Santri bertajuk Infodemi dan Strategi Komunikasi Publik di Masa Pandemi di TVNU, Sabtu (28/8/2021).
Karenanya, ini menjadi tugas seluruh elemen masyarakat, utamanya pemerintah dalam hal ini Kemkominfo, untuk lebih menggencarkan akses informasi kepada masyarakat. Sehingga informasi yang menyesatkan tidak terus-menerus mendominasi dan menjadi kebenaran.
Dalam perspesktif ilmu politik komunikasi, kata Imdad, sangat menentukan. Oleh sebab itu, menurut dia, saat ini peran pemerintah adalah mengkomunikasikan secara efektif kepada masyarakat, baik dari program pelaksanaan undang-undang maupun program lain yang sedang dilakukan.
“Masyarakat punya hak untuk tahu informasi penting terutama menyangkut soal risiko kesehatan dan kematian,” tegas Wakil Sekretaris Jenderal Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) tersebut.
Ia mengungkapkan, saat ini hak informasi naik pangkat statusnya menjadi Human Rights. Oleh karena itu, bisa jadi mendapatkan informasi yang benar akan menyelamatkan nyawa. Sebaliknya, memperoleh informasi yang salah akan mengancam nyawa.
“Jadi, ini tidak hanya menyangkut hak untuk mendapatkan informasi tetapi juga hak untuk sehat dan mempertahankan nyawa,” imbuh Komisioner Komnas HAM periode 2016-2017 itu.
Imdad menjelaskan, masyarakat yang menjadi korban hoaks tidak cukup mencari aktor jahat yang melakukan disinformasi dan hoaks. Akan tetapi, juga bisa melihat sejauh mana peran pemerintah dalam menjalankan kewajibannya untuk memenuhi hak tersebut.
“Pemerintah tidak sendirian. Peran agamawan dan tokoh masyarakat yang dipercaya oleh masyarakat awam pun, harus bekerja sama untuk memberikan penjelasan terkait ini,” ujar pria kelahiran Rembang, Jawa Tengah ini.
Kedua, niat buruk. Masyarakat tahu wabah dan risikonya, tetapi karena bandel (mereka) tidak percaya. Maka pemerintah boleh menegakkan hukum terhadap masyarakat yang punya pola pikir seperti itu.
“Dalam situasi seperti ini, pemerintah punya hak untuk melakukan kekuasaan karena Covid-19 merupakan virus menular yang tidak hanya menyangkut dirinya tapi juga orang lain,” tandasnya.
Ketiga, pendekatan moral seperti yang dilakukan oleh Nahdlatul Ulama. Ia mengutip kaidah Ushul Fiqih Dar'ul mafasid muqaddamun 'ala jalbil mashalih (Mencegah kemudaratan lebih prioritas dibanding menarik kemanfaatan).
Kaidah tersebut, menurut dia, berkaitan dengan menyelamatkan nyawa (hifdzun nafs) yang merupakan tujuan utama syariat agama. Kemudian, larangan memberikan dampak buruk kepada diri sendiri dan orang lain serta ajaran tentang menunda sesuatu yang baik karena ada ancaman yang berisiko.
“Moral agama yang mulia ini seharusnya terus dikumandangkan agar masyarakat lebih taat disiplin dan terus ikhtiar dari dampak Covid-19,” pungkasnya.
Kontributor: Suci Amaliyah
Editor: Musthofa Asrori