Dokter Makky Zamzami: Gonta-ganti Aturan PCR Rugikan Masyarakat
Sabtu, 6 November 2021 | 00:30 WIB
Jakarta, NU Online
Ketua Satuan Tugas (Satgas) Covid-19 Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) dr Makky Zamzami menilai, dampak perubahan aturan perjalanan salah satunya terkait pengadaan wajib tes PCR kepada pelaku perjalanan. Selain menimbulkan kegaduhan di tengah masyarakat, juga menghambat penanganan para petugas pelaksana di lapangan.
“Perubahan ini tidak serta-merta ditangkap oleh tim pelaksana. Tentu itu akan membuat kebingungan dan merugikan masyarakat. Apalagi kalau misalnya kebijakan pusat tidak didukung kebijakan di daerah,” terangnya kepada NU Online, Jumat (5/11/2021) malam.
Banyaknya perubahan kebijakan yang dilakukan dalam waktu singkat, lanjut dia, menyebabkan aturan yang dikeluarkan berpotensi tidak tersampaikan secara utuh. Ketimpangan di daerah terpisah membuat pengendalian di lapangan terhambat, dan ini dapat memicu kekacauan.
Baca juga: Wajib PCR dan Antigen saat Perjalanan Dipertanyakan Urgensinya
“Saya rasa, hal-hal seperti ini harus disinkronkan. Kita kan, sudah mulai bangkit. Beberapa hal terkait komunikasi jangan membingungkan warga. Karena mobilitas masyarakat yang terarah, pasti konsepnya jelas dari pusat sampai daerah ini sama,” jelasnya.
Menurut dr Makky, kegaduhan masyarakat terkait terus berubahnya kebijakan secara cepat ini bisa dicegah apabila aturan penanganannya merujuk kepada penelitian. Ia menyebutkan, jika ditinjau dari tes PCR sendiri yang berfungsi sebagai alat diagnostik, akan sangat tidak tepat menjadikannya sebagai syarat administratif kepada para pelaku perjalanan.
“Prefer-nya itu harus ke penelitian bahwa PCR itu untuk diagnostik, sedangkan antigen untuk skrining. Kalau semisalnya semua orang diagnosis harus PCR jadi itu nanti akan menjadika PCR itu sebagai sesuatu yang wajib dilakukan walaupun tanpa gejala,” ujarnya.
Baca juga: Kebijakan Tes PCR Berubah-ubah, Pemerintah Dinilai Tak Cermat Rumuskan Aturan
Selaras, Epidemiolog dari Fakultas Kedokteran Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (FKM UI) Syahrizal Syarif menjelaskan tes PCR dan antigen bukanlah alat tepat untuk dijadikan syarat administrasi pada pelaku perjalanan.
PCR disebutkan sebagai alat diagnostik yang memilki beberapa syarat sebelum melakukan tesnya. Syarat tersebut tidak ditemukan pada kriteria pelaku perjalanan. Seseorang yang tepat untuk melakukan tes PCR adalah orang yang memiliki syarat klinis dan epidemiologis.
“Apa itu syarat klinis, yakni orang menunjukan gejala. Misalnya, dia menunjukan gejala Covid-19, tetapi dia tes antigennya negatif. Sementara gejala klinisnya menunjukan gejala Covid-19. Nah, orang seperti ini memenuhi syarat pemeriksaan PCR,” terangnya.
Kedua, syarat epidemiologis disebutkan adalah kontak erat. Seseorang yang memiliki kontak erat dengan si terkonfirmasi positif Covid-19 diharuskan melakukan tes PCR.
“Sekarang, orang di jalan apakah memenuhi syarat PCR? Klinis tidak, epidemiologis juga,” tutur Syahrizal.
Kontributor: Nuriel Shiami Indiraphasa
Editor: Musthofa Asrori