DPR Kritik Penyitaan Buku oleh Polisi Pascademo Agustus
Sabtu, 27 September 2025 | 09:30 WIB
Jakarta, NU Online
Anggota Komisi X DPR RI, Bonnie Triyana, mempertanyakan langkah Kepolisian yang menyita sejumlah buku sebagai barang bukti dalam penangkapan pascademonstrasi pada akhir Agustus 2025.
Ia menegaskan bahwa buku adalah sarana memperkaya pemikiran, bukan instrumen untuk melakukan tindak kejahatan.
"Membaca buku bukanlah sebuah kejahatan. Saya mengecam tindakan kepolisian menyita buku sebagai alat bukti kejahatan karena akan menjadi preseden buruk bagi kebebasan berpikir dan berpendapat," kata Bonnie keterangan yang diterima NU Online, Sabtu (27/9/2025).
Menurut Bonnie, dampak dari penyitaan buku dapat merembet ke dunia akademik, di mana ruang diskusi seharusnya dibangun berdasarkan metode ilmiah.
"Terutama imbasnya ke dunia akademik di mana pikiran dan pemikiran diuji berdasarkan kaidah-kaidah ilmiah," tambahnya.
Penyitaan Buku di Berbagai Daerah
Dalam rangkaian penindakan pascademonstrasi 25–31 Agustus 2025 di sejumlah kota, Polisi memasukkan buku sebagai bagian dari barang bukti selain batu, spanduk, dan bom molotov. Praktik ini pertama kali muncul saat penangkapan Direktur Lokataru Foundation, Delpedro Marhaen.
Peristiwa serupa juga terjadi di Bandung, di mana aparat menyita 29 judul buku dengan beragam tema, mulai dari perlawanan jalanan hingga filsafat. Kasus berikutnya muncul di Sidoarjo, ketika dari 18 orang tersangka, polisi kembali menampilkan sejumlah buku sebagai barang bukti.
Beberapa judul yang turut disita di Sidoarjo antara lain Karl Marx karya Franz Magnis Suseno, Anarkisme karya Emma Goldman, Kisah Para Diktator karya Jules Archer, serta Strategi Perang Gerilya karya Che Guevara. Buku-buku tersebut dipajang di meja barang bukti bersama benda lain hasil penangkapan.
Bonnie menilai karya-karya yang disita justru banyak digunakan di lingkungan akademik maupun gerakan sosial karena mendorong lahirnya pikiran kritis terkait isu ketidakadilan sosial, ekonomi, dan politik.
"Buku tidak bisa menjadi barang bukti kejahatan. Menyita buku, sebagai produk pengetahuan, sama artinya memenjara pemikiran," tegasnya.
Legislator PDIP itu mengingatkan bahwa praktik semacam ini pernah terjadi dalam rezim totalitarian.
"Penyitaan buku sebagai barang bukti kejahatan hanya terjadi pada rezim fasis yang totalitarian," ungkapnya.
“Tentu kita tak mau memutar jarum jam mundur ke belakang, membawa kita kepada kondisi yang sama buruknya dengan era kolonial," sambung Bonnie.
Bonnie juga menyayangkan langkah kepolisian yang dinilainya impulsif dan tidak sensitif. Ia menilai aparat seharusnya mampu memahami aspirasi generasi muda yang sedang kritis terhadap keadaan negeri.
“Semestinya aparat peka terhadap kritik anak-anak muda. Mereka menjadi sadar akan sesuatu yang tidak beres di negeri ini karena memiliki pengetahuan menganalisis keadaan berbekal dari bacaan,” pungkasnya.