Nasional

DPR Perdalam Pembahasan RKUHAP, Mulai dari Keadilan Proses hingga Sumpah Hakim

Selasa, 11 November 2025 | 11:00 WIB

DPR Perdalam Pembahasan RKUHAP, Mulai dari Keadilan Proses hingga Sumpah Hakim

Ilustrasi rapat di Komisi III DPR RI. (Foto: NU Online/Fathur)

Jakarta, NU Online

Komisi III DPR RI kembali mematangkan pembahasan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP) dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) bersama akademisi dan berbagai elemen masyarakat sipil di Kompleks Parlemen, Jakarta, Senin (10/11/2025). Salah satu isu utama yang mengemuka adalah perlunya pembaruan paradigma hukum acara pidana agar lebih berimbang dan berkeadilan.


Anggota Komisi III DPR RI Rikwanto menegaskan bahwa KUHAP yang berlaku selama ini masih menempatkan pelaku tindak pidana sebagai pusat perhatian, sementara hak korban, tersangka, dan masyarakat belum memperoleh porsi yang setara.


Ia menilai RKUHAP harus melahirkan cara pandang baru yang lebih humanis dan melindungi seluruh pihak dalam proses peradilan.


“KUHAP yang lalu lebih berfokus pada sosok pelaku, diapakan dan harus apa. (Namun), dalam perjalanannya telah banyak perubahan dan penyempurnaan. Sekarang kita upayakan perubahan. Jadi ada paradigma baru, yaitu keseimbangan dan hak-hak yang tadinya tidak ada, harus dimunculkan di KUHAP yang baru ini,” ujar Rikwanto dikutip NU Online melalui TVR Parlemen.


Ia menjelaskan, penyusunan RKUHAP saat ini telah melalui konsultasi luas dengan penyidik, penuntut umum, hakim, akademisi, LSM, dan masyarakat sipil. Menurutnya, proses ini mencerminkan mekanisme kontrol yang sehat dalam pembentukan kebijakan hukum nasional.


“Masukan-masukan tersebut (semoga) bisa mewadahi (aspirasi) semua pihak untuk kebaikan kita bersama dalam rangka penegakan hukum di negara kita tercinta ini,” tuturnya.


Rikwanto juga menekankan pentingnya jaminan kepastian hukum. Ia menilai, perkara yang tidak kunjung menemukan titik terang justru melemahkan rasa keadilan, baik bagi pelapor maupun terlapor.


“Kalau ada perkara yang sifatnya tidak segera terungkap, ada baiknya dihentikan saja untuk kepastian hukum. Nanti kalau ada novum (bukti baru) nya, baru buka lagi. Bukan lima tahun nggak selesai-selesai. Kalau memang penyidik tidak mampu, sadar saja memang belum bisa. Ini kajian-kajian (dilakukan) untuk kepastian hukum dan rasa keadilan,” tegasnya.


Ia juga menyinggung pentingnya profesionalisme penyidik serta penguatan peran advokat sebagai penjaga HAM dalam proses hukum.


Menanggapi diskusi mengenai peran Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS), Rikwanto memandang kemunculan berbagai jenis penyidik sebagai konsekuensi dari meningkatnya kompleksitas permasalahan hukum.


“Dulu penyidik polisi segalanya. Tapi karena perkembangan penduduk dan masalah yang kompleks, muncul penyidik lain seperti PPNS. Ini perkembangan yang tidak bisa ditolak,” ucapnya.


Ia membuka peluang agar PPNS ke depan dapat memiliki ruang kerja yang lebih mandiri dengan mekanisme pertanggungjawaban yang jelas.


Sumpah hakim sebelum bacakan putusan

Dalam forum yang sama, Advokat Windu Wijaya dari Forum Advokat Pembaharuan Hukum Acara Pidana mengajukan sebuah gagasan yang mewajibkan hakim mengucapkan sumpah sebelum membacakan putusan pidana.


Menurut Windu, langkah tersebut penting untuk menguatkan integritas moral dan objektivitas hakim di mata publik.


“Kami juga memandang perlu adanya penguatan norma etik dan spiritual dalam proses peradilan pidana, khususnya terkait tanggung jawab moral hakim dalam menjatuhkan putusan pidana,” kata Windu.


Ia menyebutkan bahwa sumpah jabatan hakim yang berlaku selama ini belum cukup memberikan keyakinan kepada pihak berperkara dan masyarakat. Oleh sebab itu, ia mengusulkan pengaturan baru dalam RKUHAP.


“Oleh sebab itu, kami mengusulkan agar dalam rancangan UU KUHAP dimuat ketentuan khusus mengenai pembacaan sumpah oleh hakim sebelum membacakan putusan,” jelasnya.


Windu bahkan membacakan redaksi sumpah yang ia usulkan sebagai berikut.


“Berbunyi, 'Demi Allah, demi Tuhan, saya bersumpah bahwa putusan yang saya bacakan merupakan hasil dari pertimbangan hukum yang objektif dan berdasarkan keadilan tanpa adanya pengaruh atau imbalan dari pihak mana pun serta saya mengambil keputusan ini dengan penuh tanggung jawab dan integritas',” tambahnya.


Menurutnya, sumpah tambahan ini bertujuan memperkuat kepercayaan publik terhadap proses peradilan.


“Meskipun sumpah jabatan hakim sudah mencakup kewajiban untuk bersifat adil dan tidak memihak, sumpah sebelum membacakan putusan memiliki fungsi tambahan yang lebih spesifik untuk masing-masing,” pungkasnya.