Jakarta, NU Online
Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) H Robikin Emhas menjelaskan dua prinsip atau gagasan dasar utama yang dipegang teguh oleh NU untuk membangun peradaban. Prinsip yang pertama adalah membangun relasi yang baik dengan sesama umat beragama.
“Setiap agama ada nilai-nilai kemanusiaan. Itu harus diperkuat. Karena itulah titik temu dengan umat beragama apa pun. Maka yang harus diperkuat adalah kesamaannya, bukan malah perbedaannya yang dipertajam,” ungkap Robikin dalam galawicara di TV NU bertajuk Disrupsi Teknologi dan Dampak pada Peradaban Global, Senin (15/3) kemarin.
Sementara prinsip NU yang kedua adalah membangun relasi dengan orang-orang yang berada di luar penganut agama. Hubungan itu dibangun dengan memperkuat nilai etik universal. Sebab setiap orang, baik beragama atau tidak, pasti punya standar etik yang bersifat universal.
“Semua orang tidak mau dicurangi. Semua orang tidak mau dibohongi, dan semua orang tidak mau dipersekusi. Itu nilai universal,” tutur Staf Khusus Wakil Presiden RI KH Ma’ruf Amin ini.
Dua piranti dasar itulah yang senantiasa dikembangkan oleh NU. Karena itu tak heran ketika NU pada 1983-1984 mewujudkan gagasan utama tersebut dalam membangun konsep tri ukhuwah. Ketiga itu adalah ukhuwah Islamiyah (persaudaraan antar umat Islam), ukhuwah wathaniyah (persaudaraan antar sesama anak bangsa), dan ukhuwah basyariyah (persaudaraan sesama umat manusia).
Puncak pengaplikasian dari konsep tri ukhuwah tersebut adalah semakin berkurang dan bahkan hilangnya prasangka. Kepada siapa pun, harus menimbulkan rasa percaya. Baik dengan orang yang seiman, sesama warga negara, maupun sesama umat manusia di belahan dunia mana pun.
“Karena orang tidak bisa jika tidak membangun kerja sama, apalagi di era disrupsi ini. Manusia harus kolaboratif. Betul, tingkat kompetisinya mencapai derajat yang serius atau hyper competition. Tetapi harus ada rasa mutual trust (saling percaya),” ujarnya.
Robikin beranggapan, jika warga NU mampu untuk terus membangun peradaban dengan dua pijakan dasar dan konsep tiga ukhuwah itu maka era disrupsi teknologi dapat mengantarkan rasa saling percaya, saling memahami, saling kasih, dan saling sayang di berbagai kehidupan.
“Kalau disrupsi teknologi ini menghasilkan kompetisi yang tidak sehat, yang akhirnya memiliki akumulasi kapital, kemudian semakin besar, tetapi justru semakin tidak punya akses terhadap ekonomi, keadilan, dan sosial, maka kita akan terjerumus,” tegasnya.
Kompetisi yang tidak sehat itu dapat mengakibatkan rusaknya rasa kemanusiaan. Bahkan merugikan pihak yang mengakumulasi kapital tersebut karena akan berujung pada kerusuhan, peperangan, dan penjarahan.
“Jadi peran NU dalam era disrupsi teknologi ini mendorong itu semua, seperti mutual truts, kolaborasi, dan kerja sama. Yang menghasilkan rasa saling mengerti, memahami, mengasihi, mencintai, dan yang paling penting lagi adalah saling berbagi kehidupan. Baik itu aspek politik, ekonomi, sosial, budaya,” terang Robikin.
Lebih lanjut ia menuturkan, Islam hadir pun menjadi bagian dari respons kehidupan masyarakat. Dulu, peradaban di Arab dinilai tidak menempatkan harkat dan martabat manusia di posisi terhormat. Di era jahiliyah pra-Islam, perempuan tidak memiliki harga dan nilai, bahkan dianggap membebani.
“Maka (perempuan) harus dibuang atau dikucilkan. Keluarga terhormat sekalipun ketika memiliki perempuan, merasa itu sebuah aib. Kemudian Islam datang dan memberikan tempat kepada perempuan. Harkat dan martabatnya setara dengan laki-laki. Itu perubahan yang luar biasa. Revolusioner sekali,” katanya.
Ia kemudian mengutip hadits Nabi yakni innama bu’itstu li utammima makarimal akhlaq (sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak). Karenanya, peradaban harus terus dibangun. Cara yang mesti dilakukan harus menggunakan berbagai sarana yang tersedia.
“Kalau sekarang eranya adalah teknologi informasi dan digital, itu yang harus digunakan. Tetapi pola-pola lama yang masih dianggap bagus, yang bisa dipertahankan, ya jangan ditinggal begitu saja. Karena NU punya kaidah al-muhafadzhatu ala qadimisshalih wal akhdzu bil jadidil ashlah (memelihara tradisi lama yang baik dan beradaptasi dengan tradisi baru yang lebih baik),” pungkas Robikin.
Pewarta: Aru Lego Triono
Editor: Fathoni Ahmad