Nasional

Ekonomi Indonesia Tak Boleh Ditopang oleh Segelintir Konglomerat

Rabu, 24 Mei 2017 | 15:51 WIB

Malang, NU Online
Rais Aam PBNU KH Ma’ruf Amin menegaskan bahwa ekonomi Indonesia yang selama ini lebih banyak menggunakan pendekatan top-down atau dari atas ke bawah, di waktu mendatang harus memperbesar pendekatan dari bawah ke atas (bottom-up). Ekonomi Syariah merupakan salah satu alternatif solusi atas ketidakadilan ini. 

“Ke depan ekonomi nasional harus ditopang oleh ekonomi umat, bukan seperti sebelumnya yang hanya ditopang oleh segelintir konglomerat,” katanya dalam pidato pengukuhan yang dihadiri oleh Presiden Joko Widodo ini, di Universitas Islam Negeri Malang, Rabu (24/5).

Dikatakan oleh Kiai Ma’ruf, apabila komitmen pemerintah ini dapat berjalan dengan mulus, maka dapat dipastikan Indonesia menjadi pasar dan pemain ekonomi syariah yang betul-betul mempunyai prospek cerah, karena selain Indonesia menjadi pasar potensial karena jumlah penduduknya yang mayoritas Muslim, juga karena ekonomi syariah memberikan manfaat ekonomi bagi para pelakunya.

Kiai Ma’ruf menceritakan sejarah perkembangan bank syariah yang pertama didirikan tahun 1991. Bank tersebut merupakan tindak lanjut dari hasil lokakarya MUI pada tahun sebelumnya. Satu tahun setelah berdirinya bank syariah pertama tersebut lahir Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, yang memuat aturan tentang telah dimungkinkannya kegiatan usaha perbankan dengan menggunakan prinsip syariah yang disebut dengan istilah bagi hasil.

Upaya untuk membuat regulasi perbankan syariah terus dilakukan. Pada tahun yang sama Pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1992 tentang Bank Berdasarkan Prinsip Bagi Hasil (Lembaran Negara 1992/119, dan Penjelasannya dimuat dalam Tambahan Lembaga Negara Nomor 3505). Dalam PP Nomor 72 Tahun 1992 pasal 1 tersebut, ditetapkan bahwa Bank berdasarkan prinsip bagi hasil wajib memiliki Dewan Pengawas Syariah, (ayat 1) yang dibentuk atas dasar konsultasi dengan ulama (ayat 2), dan ulama yang dimaksud adalah MUI (penjelasan pasal 5 ayat 2).

Enam tahun setelahnya terbit UU No. 10 Tahun 1998 Tentang Perubahan atas Undang-undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, yang secara jelas di dalamnya mengakomodasi dual banking system di Indonesia, yaitu perbankan konvensional dan perbankan syariah.

Hubungan baik yang terjalin antara Bank Indonesia dan Dewan Syariah Nasional-Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) telah menghasilkan banyak Peraturan Bank Indonesia (PBI) yang mengadopsi dan mengharmonisasi fatwa-fatwa DSN-MUI. Sehingga dapat dikatakan bahwa penyerapan fatwa ke dalam peraturan resmi negara telah berlangsung dengan baik di sektor perbankan.

Hal yang sama juga terjadi di sektor lain; seperti sektor asuransi, pembiayaan, dan pasar modal. Pada tahun 2003 MUI merilis fatwa tentang keharaman bunga bank, karena dinilai sama dengan riba. 

“Efek berantai setelah dikeluarkannya fatwa tersebut segera terasakan setelahnya. Hal ini bisa dilihat dari ditetapkannya bagian khusus di lembaga regulator yang menangani masalah ekonomi syariah, baik di Bank Indonesia melalui Direktorat Perbankan Syariah yang khusus menangani perbankan syariah, maupun di Departemen Keuangan melalui Direktorat Pembiayaan Syariah, Bapepam-LK, Biro Asuransi Syariah, Bursa Efek Indonesia (BEI), yang kesemuanya saat ini disatuatapkan di dalam Otoritas Jasa Keuangan (OJK),” katanya.

Fatwa tersebut juga mempunyai pengaruh kuat terhadap semakin berkembangnya industri keuangan dan bisnis syariah. Hal itu bisa dibuktikan melalui fakta statistik yang ada. Pada rentang tahun 1990 sampai dengan 1998 hanya ada satu bank syariah.

Pada rentang tahun 1998 sampai dengan tahun 2002 lahir lima bank syariah. Sedangkan setelah fatwa keharaman bunga bank dikeluarkan pada tahun 2003, semakin banyak muncul bank syariah, baik yang berupa Unit Usaha Syariah ataupun Bank Umum Syariah. Hal yang serupa juga terjadi di sektor non-bank; banyak lahir asuransi syariah, multi-finance syariah, pasar modal syariah, dan lembaga bisnis syariah lainnya. 

Hal itu semakin dikukuhkan dengan lahirnya UU Nomor 19 Tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) dan UU Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.

Kondisi ini semakin menunjukkan ada hubungan yang kuat sekali antara fatwa yang dikeluarkan oleh DSN-MUI dengan terbentuknya peraturan perundang-undangan dan dinamika tumbuh kembang sektor ekonomi syariah di Indonesia.

“Para ulama di DSN-MUI sangat bertanggung jawab dan percaya diri, bahwa fatwa-fatwa DSN-MUI tersebut dikeluarkan berdasarkan aturan dan metodologi penetapan fatwa yang diatur dalam syariah Islamiyah.Memang agak sulit memahami fatwa-fatwa DSN-MUI hanya dengan menggunakan keilmuan standar. Karena banyak dari fatwa-fatwa DSN-MUI tersebut yang mempergunakan Solusi Hukum Islam (makharij fiqhiyah) sebagai landasannya,” tegasnya. (Mukafi Niam)


Terkait