Fatwa dan fiqih turut serta dalam membangun Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) untuk tetap tegak berdiri, tumbuh berkembang hingga saat ini.
Salatiga, NU Online
Wakil LDNU Jawa Timur, KH MN Harisudin menyampaikan persoalan kebangsaan sudah diatur oleh fatwa dan fikih. Keduanya 'fatwa dan fiqih' turut serta dalam membangun Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) untuk tetap tegak berdiri, tumbuh berkembang hingga saat ini.
Bisa dilihat, kata dia, saat ini banyak fatwa yang mengatur berbagai hukum di masa pandemi Covid-19. Misalnya bagaimana hukum menggunakan masker saat keluar rumah, hukum shalat Jumat di masjid, dan sebagainya. Fatwa-fatwa ini dalam pandangan Maqashid Asy-Syariah sangat diperlukan.
Mengisi kuliah tamu IAIN Salatiga, Selasa (13/10) Pengasuh Pesantren Darul Hikam Mangli Kaliwates Jember ini menyebutkan fatwa merupakan jawaban atau penjelasan dari ulama mengenai masalah keagamaan dan telah berlaku untuk umum, dan dalam kondisi apa pun.
"Fatwa juga biasanya muncul karena adanya respon mengenai fenomena yang terjadi di masyarakat. Fatwa ada karena permintaan atau pertanyaan dari masyarakat, pemerintah, organisasi sosial, dan perkembangan atau temuan masalah-masalah keagamaan yang muncul akibat perubahan masyarakat berupa kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni," ujarnya.
Dikatakan Prof Haris, perbedaan antara fatwa dan fikih di antaranya fatwa tentang sebuah kasus, sifatnya lebih khusus, sedangkan fikih sifatnya umum. Fatwa ada karena permintaan, sedangkan fikih tidak harus selalu ada permintaan.
"Fatwa dan fikih sama-sama membahas tentang permasalahan pada manusia, sedangkan perbedaan fatwa dan qadla yaitu fatwa sifatnya tidak mengikat sedangkan qadla mengikat, fatwa sifatnya dari masyarakat, sedangkan qadla dari perwakilan negara," ungkapnya.
Di atasnya qadla ada positif law. Positif law adalah hukum Islam yang menjadi hukum positif, seperti Kompilasi Hukum Islam, Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (HEI), dan lain sebagainya.
Dekan Fakultas Syariah IAIN Jember ini mengatakan terdapat empat hal pokok dalam fatwa. Keempatnya adalah al-ifta’ artinya kegiatan yang menerangkan hukum syara’ sebagai jawaban dari pertanyaan. Mustafti adalah orang yang meminta fatwa baik individu ataupun berkelompok. Mufti adalah orang yang memberikan fatwa. Dan, Mustafti Fiih merupakan peristiwa yang ditanyakan status hukumnya.
"Oleh sebab itu maka, syarat-syarat menjadi Mufti tidak boleh sembarangan, yang pertama seorang Mufti itu harus mukalaf (Muslim, dewasa, dan sempurna akalnya), harus ahli dalam ilmu agama dan bisa berijtihad, pribadinya harus adil, dapat dipercaya dan mempunyai moralitas, serta memiliki keteguhan niat, tenang jiwanya, hasil fatwanya tidak menimbulkan kontroversi (perdebatan) dan dikenal di tengah umat," jelasnya.
Kontributor: Erni Fitriani
Editor: Kendi Setiawan