Fenomena Pamer Kekayaan, Sejarawan NU: Budaya Orang Kaya Baru
Rabu, 8 Maret 2023 | 20:30 WIB
Jakarta, NU Online
Ramai budaya pamer kekayaan pejabat, Sejarawan Nahdlatul Ulama (NU) Andrian Perkasa berkomentar bahwa budaya pamer sangat lekat dengan kehidupan orang-orang kaya baru.
“Orang-orang kaya baru biasa meniru gaya hidup orang-orang asing yang kaya, baik dalam bentuk dan kemewahan rumah, barang antik, maupun mobilnya. Mereka juga senang mempertontonkan kemewahan,” kata Andrian, kepada NU Online, Rabu (8/3/2023).
Bila menilik sejarah, ia menerangkan bahwa sebenarnya fenomena pamer kekayaan dan kemewahan sudah mengemuka secara masif sejak awal abad-19 ketika materialisme semakin menjangkit, terutama banyak orang-orang kaya baru karena usaha-usaha perkebunan.
“Nah, itu termuat dalam Serat Wedhatama karya Mangkunegara IV yang menyebutkan, gelagat anak muda (orang kaya baru) sangat lekat dengan sifat sombong atau kemaki tujuan hidupnya begitu rendah dan hanya mengandalkan orang tuanya,” jelas Dosen Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Unair Surabaya itu.
Ia menghubungkan fenomena tersebut dengan kemunculan orang kaya baru alias OKB di zaman orde baru. Mengutip buku sejarawan Bedjo Riyanto berjudul Siasat Mengemas Nikmat (2019), mendefinisikan dua kategori kelas sosial di masa awal Orde Baru, yakni golongan cukupan (menengah baru) dan orang kaya.
“Di masa itu orang kaya adalah golongan elite yang terdiri dari profesional dan kaum selebritas, konglomerat pengusaha kroni penguasa—kapitalis Tionghoa maupun pribumi, dan pejabat tinggi pemerintahan—birokrat maupun militer,” ungkap dia.
Warisan OKB zaman dulu, jelas Adrian, adalah karakteristiknya yang selalu mengutamakan penampilan dan identitas dalam bentuk pengadopsian gaya hidup mewah berorientasi pada konsumsi.
Baca Juga
Tips-tips Mengatasi Sikap Pamer
“Karakteristik itu yang ditentang oleh Raja Mangkunegara IV dalam Serat Wedhtama,” ungkapnya.
Sebagai informasi, Serat Wedhatama merupakan salah satu karya sastra Jawa kuno yang biasa disebut kitab Jawa kuno (kitab piwulang dan paweling) yang sangat popular di kalangan masyarakat Jawa pada masa pemerintahan Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Mangkunegara IV.
Serat ini berisi tentang ajaran-ajaran budi luhur yang ditujukan untuk anak keturunannya, yang kemudian menjadi tersebar luas di kalangan masyarakat di waktu itu. Ajaran-ajaran tersebut mengajarkan tentang nilai-nilai budi luhur dan ajaran tentang sembah kepada Tuhan.
Dalam ajaran-ajaran tersebut, terdapat kesamaan dengan ajaran tasawuf tentang pembersihan jiwa dan cara-cara untuk menempuh jalan spiritual.
Pewarta: Syifa Arrahmah
Editor: Muhammad Faizin