Jakarta, NU Online
Ketua Lesbumi KH Agus Sunyoto mengungkapkan betapa cepat ajaran Islam masuk dan diterima masyarakat Nusantara melalui media wayang.
“Masyarakat Islam Nusantara pada awalnya lebih mengenal tokoh-tokoh cerita pewayangan daripada nama-nama para sahabat Nabi. Masyarakat meneladani nilai-nilai kebaikan ajaran Islam dari tokoh dalam pewayangan. Oleh sebab itu Islam di Nusantara pada masa lalu tidak bisa diukur dengan konteks seperti yang ada sekarang,” kata Kiai Agus dalam “Ngaji Sejarah dan Sinema” yang dihelat Senin, (30/1) di Gedung PBNU, Jakarta Pusat.
Menurut Kiai Agus, kisah Ramayana sudah dikenal pada jaman kuno, namun hanya di kalangan keraton. Beberapa penulis kakawin seperti Empu Sedah, juga bangunan candi seperti Candi Sukuh dan Candi Ceto mengenalkan kisah Ramayana. Tetapi melalui media itu masyarakat belum paham, hingga kemudian muncul era wayang.
Wayang, lanjut Kiai Agus, dengan berbagai bentuknya seperti wayang purwa, krucil, jemblung, klitik, dan wayang orang berkembang sampai kemudian terdapat pengaruh Timur Tengah dan sastra Jawa pada akhir abad 17.
“Semua warisan itu lalu dilestarikan di pesantren. Termasuk doa-doa yang diajarkan para kiai. Kita tidak lepas dari akar tradisi. Itulah yang menyebabkan NU masih ada,” tegas Kiai Agus.
Pembicara lainnya Seno Gumira Ajidarma, mengatakan semua dari kita sebenarnya sudah menjadi sineas. Itu terbukti dari seringnya menggunakan bahasa gambar yang bergerak.
“Sinema adalah cara berbahasa yang menggunakan gambar bergerak, ada suaranya, ada bahasa visual. Ini artinya kita sudah menjalankan,” kata Seno.
Membicarakan sinema atau film akan lebih rumit, sama halnya dalam beragama. Seno mengajak hadirin bermenung dengan pertanyaan, dalam beragama apakah kita hanya berteori atau mengutamakan amaliah.
Menurutnya yang penting dipikirkan adalah pencarian identitas. Dal hal para sineas dapat menengok kiprah Usmar Ismail untuk Indonesia.
“Usmar melahirkan film-filmnya berangkat dari pemikiran bagaimana mengenalkan Indonesia. Waktu itu Usmar melihat adanya kenyataan pengiriman delegasi Indonesia ke seluruh dunia, selalu dominan Jawa dan Bali. Maka Usmar mengenalkan budaya Indonesia—yang bukan hanya Jawa dan Bali—jalan keluarnya adalah film, dan bukan yang lain,” urai Seno.
Lalu, ada renungan bisakah mempancasilakan Indonesia dalam film? Bisakah membuat film yang Indonesia. Usmar lalu meminta naskah cerita kepada Sitor Situmorang dan lahirlah film “Darah dan Doa”. Tanggal shoting pertama, 30 Maret, dijadikan sebagai Hari Film.
Uniknya cerita film tersebut terinspirasi Longmarch-nya tentara Tiongkok yang dalam konteks tersebut adalah menganut paham komunisme. Ini sama saja dengan ironi kemerdekaan. Film tersebut juga bercerita tentang orang biasa, dengan aktor-aktor biasa, dan tema tidak menghibur.
Saat ini, identitas melalui film tidak bisa dipegang karena ketika berbicara tentang film sekarang hanya sebagai barang dagangan.
“Namun salah besar bila semua dari kita menggunakan pendekatan film sebagai barang dagangan. Barangkali penting untuk NU adalah supaya bisa menyampaikan identitas NU dengan bahasa film,” tegas Seno. (Kendi Setiawan/Fathoni)