Surabaya, NU Online
Masyarakat disuguhkan film Jejak Langkah 2 Ulama (JL2U). Sebuah film yang menggambarkan sosok dua ulama, Hadratussyekh KH M Hasyim Asy’ari dan KH Ahmad Dahlan.
Proses penggarapan film yang disutradarai Sigit Ardiansyah ini dapat dikatakan singkat, kurang dari satu tahun. Yakni sejak Maret 2019, mulai dari pencarian, riset, penulisan skrip, casting, editor, finishing dan terakhir diluncurkan perdana di Surabaya.
“Waktu pengerjaan film lumayan sehingga kita bisa review tanggal 2 Februari 2020 di Jakarta sebelum Gus Sholah meninggal dan pada tanggal 10 Februari 2020 tayang perdana di Hotel Grand Kalimas Surabaya,” kata Muhammad Bismar Umbu Nay, Rabu (18/2).
Koordinator distribusi JL2U ini menjelaskan film diproduksi bersama Pesantren Tebuireng Jombang dan Muhammadiyah. Yang istimewa, film digawangi langsung almarhum KH Salahuddin Wahid atau Gus Sholah dan H Haedar Nashir selaku Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah.
Film ini dari H Haedar dan bekerja sama dengan Pesantren Tebuireng. Dikemukakan bahwa Gus Sholah pingin memproduksi karena generasi milenial sudah jarang tersentuh dengan film seperti ini.
“Film yang menggambarkan sejarah ulama dan pendiri negara ini. Jadi, kerja sama ini untuk membuat film dakwah,” ungkap laki-laki yang disapa Bismar tersebut.
Proses penggarapan film tentu tidak semulus yang diharapkan. Ditemukan beberapa tantangan yang dialami pemain. Tidak jarang pula mereka dikuras emosinya saat memerankan sejumlah adegan.
“Tantangannya, film ini dibuat yang kita sendiri belum lahir, terlebih film sejarah sehingga harus hati-hati. Film yang jauh masanya dengan kita dengan suasana yang sangat sederhana,” ungkapnya.
Disampaikan, kesedihan juga melingkupi pembuatan film. Mulai proses, adegan pondok terbakar dan sejenisnya, cukup membakar emosi pemain.
Bismar yang memerankan sebagai Sarman, santri Hadratussyekh KH M Hasyim Asy’ari menjelaskan, hampir seluruh penggarapan JL2U dilakukan santri. Pemainnya diambil dari keluarga dan aktor yang memainkan Hadratussyekh KH M Hasyim Asy’ari masa muda adalah Sidqi Mudzakir, pengurus Pesantren Tebuireng.
“Sedangkan sosok masa tuanya diperankan langsung oleh Gus Riza, putra dari KH Yusuf Hasyim yang masih merupakan cucu dari KH M Hasyim Asy’ari,” terangnya.
Terlebih aktor yang memerankan Syeikhona Kholil Bangkalan dan dianggap hampir mirip, nyatanya diperankan juga oleh santri.
“Dan oleh dzurriyahnya pun memperbolehkan menvisualisasikan wajah beliau,” katanya.
Dirinya mengemukakan bahwa para santri harus nonton film ini agar mengerti sejarah dua ulama yang terkadang tidak tersentuh film lain.
“Memang banyak buku karangan yang menceritakan kedua ulama ini, tapi untuk sampai difilmkan belum ada. Harap semau bisa nonton karena ceritanya sangat bagus,” katanya berpromosi.
Dikemukakan bahwa film menggambarkan kepribadian dua ulama pendiri dua organisasi besar yakni NU dan Muhammadiyah. Juga sosok dua sahabat karib yang tinggal di tempat berbeda dan berjuangan menghadapi tantangan dakwah.
Dirinya menjelaskan film tidak ditayangkan bioskop, justru dipilih dengan door to door datang ke tempat yang satu ke tempat lain.
“Model ini merupakan permintaan dari Gus Sholah bersama dengan Pak Haedar, manager dan lainnya. Bahwa film lebih pada edukasi untuk dakwah yang bisa tembus sampai ke desa,” kilahnya.
Persoalan bioskop, sebenarnya banyak pihak yang ingin membeli film ini. Ada yang meminta untuk membeli sampai 10.000 tiket, meminta file untuk diputar.
“Lagi-lagi kita putuskan tidak keluar dari sistem itu. Dan ini merupakan pesan langsung dari Gus Sholah bahwa film untuk dakwah dan harus menyentuh pelosok negeri,” pungkasnya.
Kontributor: Hida
Editor: Ibnu Nawawi