Gagasan Gus Yahya tentang Peradaban Dunia yang Mulia di Masa Depan
Selasa, 1 Agustus 2023 | 15:45 WIB
Jakarta, NU Online
Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Yahya Cholil Staquf memiliki visi besar sejak terpilih dalam Muktamar Ke-34 NU di Lampung, pada akhir 2021 lalu. Salah satu visi besar itu adalah soal perjuangan untuk menciptakan peradaban dunia yang mulia di masa depan.
Berbagai upaya telah dilakukan, termasuk mengajak para pemimpin agama-agama dunia untuk duduk bersama agar berkenan mengakui masalah dan menemukan solusi untuk peradaban yang lebih baik. Upaya tersebut dilakukan melalui Forum Religion Twenty atau R20 di Bali pada 2-3 November 2022.
Upaya melakukan dialog antaragama dengan menghadirkan para pemuka agama dunia dilanjut dengan gelaran ASEAN Intercultural and Interreligious Dialogue Conference (IIDC) yang akan berlangsung di Hotel Ritz-Carlton Jakarta, pada 7 Agustus 2023.
Gagasan Gus Yahya tentang upaya membangun peradaban dunia yang mulia di masa depan itu muncul dari keresahannya atas kondisi masyarakat era globalisasi. Semua orang, dari latar belakang berbeda, menyatu dalam sebuah ‘kampung raksasa’. Karena itu, potensi konflik akan sangat mungkin terjadi.
Di dalam buku Perjuangan Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Gus Yahya menumpahkan keresahannya atas gejala kemajemukan dan multikulturalisme yang terjadi di mana-mana.
Orang-orang dengan agama yang berbeda-beda hidup bersama di satu kampung, sehingga jika diletupkan konflik antaragama, terjadilah kerusuhan. Gus Yahya mengambil contoh kerusuhan yang pernah terjadi di Ambon, Poso, Sri Lanka, India, dan Myanmar.
Parahnya lagi, ketika terjadi kerusuhan kampung, kata Gus Yahya, orang akan mengaitkannya dengan sentimen agama. Mereka merespons dengan klaim bahwa umat Islam di dunia ini bersaudara.
Dicontohkan, jika terjadi benturan antara orang Kristen dan orang Islam di satu tempat, maka orang-orang Islam yang berada di tempat lain akan merasa harus ikut memerangi orang-orang Kristen di sekitar mereka.
Menurut Gus Yahya, hal tersebut terjadi karena orang-orang masih mempertahankan cara berpikir lama, sedangkan dunia saat ini tengah mengalami perubahan secara demografis. Jika cara berpikir itu dipertahankan, maka kerusuhan antar-masyarakat akan terlihat di mana-mana.
“Maka salah satu urusan terbesar kita adalah bagaimana menemukan cara berpikir yang lebih tepat untuk menghadapi dunia yang berubah. Cara berpikir masa lalu yang telah mewariskan kepada kita sejumlah masalah dan barangkali kepahitan, kelas tidak mungkin dipertahankan lagi, kecuali jika kita ingin terus mendapatkan masalah. Kita memerlukan cara berpikir baru yang lebih bersandar pada masa depan,” kata Gus Yahya dalam tulisannya di buku PBNU (2020: 38-39).
Gus Yahya menekankan bahwa solusi datang dari masa depan, salah satunya ketika semua orang memiliki kesediaan untuk menjunjung ukhuwah basyariyah (persaudaraan kemanusiaan), dan secara sungguh-sungguh mengamalkan prinsip persaudaraan antarmanusia.
NKRI sebagai wasilah
Gus Yahya selalu menjadikan NKRI sebagai wasilah atau jembatan untuk mewujudkan cita-cita peradaban yang lebih mulia di masa depan. Misalnya gelaran R20 yang digelar bertepatan dengan momentum G20, dan ASEAN IIDC bertepatan dengan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN.
“Kita tidak berpikir perjuangan ini semata-mata untuk kejayaan NU: ini soal memperjuangkan peradaban masa depan yang lebih mulia untuk seluruh umat manusia. Karena wasilahnya adalah NKRI, maka kita harus bertarung untuk memenangkan NKRI dan menjaga keutuhannya,” tulis Gus Yahya.
“Selanjutnya, kita berjuang supaya kekuatan-kekuatan yang ada di dalam NKRI, termasuk sumberdaya-sumberdayanya dan kekayaannya digunakan untuk perjuangan mencapai cita-cita peradaban,” lanjut Gus Yahya (lihat buku PBNU halaman 69).
Gus Yahya menekankan bahwa perjuangan membangun dan mewujudkan cita-cita peradaban memerlukan kesungguhan. Tidak hanya memerlukan kerja keras, tetapi juga transformasi pola pikir.