Ketua Umum Pimpinan Pusat GP Ansor Addin Jauharuddin didampingi Sekretaris Jenderal A Rifqi Al Mubarok memberikan prasasti kepada Pengasuh Pesantren Al-Baqiyatus Solihat, Ahad (21/4/2024). (Foto: NU Online/Suci Amaliah)
Bekasi, NU Online
Ketua Umum Pimpinan Pusat Gerakan Pemuda Ansor (PP GP Ansor) Addin Jauharuddin mengatakan, pengurus Ansor akan mengirimkan surat dan mengusulkan kepada Kementerian Sosial agar KHR Ma'mun Nawawi atau Mama Cibogo ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional tahun 2024.
Penetapan ini dinilai penting mengingat KHR Ma'mun Nawawi merupakan tokoh NU sekaligus murid Hadrattussyekh Hasyim Asy'ari. Ia meminta kepada seluruh anggota GP Ansor untuk meneladani dan menjiwai semangat dan perjuangan KH Ma'mun Nawawi saat membentuk Laskar Hisbullah, sebagai semangat kerja baru yang akan menjadi landasan umat ke depan.
"Dengan ditetapkan pahlawan nasional semua orang akan mengenal kiprahnya, menjadi contoh khususnya bagi generasi muda," kata Addin ditemui NU Online usai pembukaan kegiatan Gowes Ansor di kompleks Pesantren Al-Baqiyatus Solihat, Cibarusah, Bekasi Jawa Barat, Ahad (21/4/2024).
Pj Bupati Bekasi Dani Ramdan memandang, dukungan dari GP Ansor itu akan menambah kekuatan supaya nanti pemerintah pusat bisa mengabulkan usulan masyarakat Kabupaten Bekasi menjadikan KH. Ma'mun Nawawi sebagai Pahlawan Nasional.
"Kami yakin beliau tidak menghendaki, gelar atau apapun, tetapi kewajiban kita sebagai penerusnya untuk bisa mewariskan keteladanan beliau sejarah perjuangannya kepada generasi yang akan datang," ucapnya.
Dengan dijadikannya beliau sebagai Pahlawan Nasional, lanjut Dani, maka keteladanan Mama Cibogo tidak hanya dikenal di Kabupaten Bekasi saja, tetapi di seluruh wilayah Indonesia.
Catatan NU Online mengutip buku Peranan KH Raden Ma’mun Nawawi dan Laskar Hizbulloh (2019) karya Ahmad Djaelani, Andi Sopandi, dan Faiz Taufik Nawawi, KH Raden Ma’mun Nawawi atau Mama Cibogo adalah sosok ulama ahli falak dari Cibarusah, Bekasi, Jawa Barat. Ia merupakan Pendiri Pondok Pesantren Al-Baqiyatus Sholihat, Kampung Cibogo yang pernah dijadikan sebagai arena untuk pelatihan Laskar Hizbullah.
Mama Cibogo lahir pada Kamis, Jumadil Akhir 1330 Hijriah atau tahun 1912 Masehi. Ia lahir dari pasangan KH Raden Anwar dan Ny Hj Romlah. Dari nasab ayahnya, Mama Cibogo ini terhubung hingga Rasulullah.
Ia adalah keturunan ke-12 dari Sunan Gunung Djati atau ke-11 dari Raja Pertama Kesultanan Banten Maulanan Hasanuddin, dan keturunan ke-24 dari Rasulullah. Banten dengan Kampung Cibogo memiliki kedekatan secara kultur karena sama-sama berada di Tatar Pasundan.
Sejak kecil, Mama Cibogo dikenal sebagai seorang yang sangat giat belajar. Guru pertamanya, tentu sang ayah, Kiai Raden Anwar. Hingga usia delapan tahun, ia digembleng oleh ayahnya untuk belajar memahami dasar-dasar agama. Selanjutnya, Mama Cibogo tidak lagi belajar memperdalam agama tetapi mulai belajar di Sekolah Rakyat (SR) di bawah pemerintahan Hindia Belanda. Ia menjadi lulusan terbaik dan memiliki keilmuan umum yang unggul. Setelah itu, ia tak langsung melanjutkan pendidikannya ke pondok pesantren.
Namun terlebih dulu, membantu ayahnya berjualan kitab dan kemudian mengajar ilmu agama untuk masyarakat sekitar. Barulah pada usia 15 tahun, Mama Cibogo mondok di Pesantren Plered Purwakarta, Pimpinan KH Tubagus Ahmad Bakri As-Sampuri atau Mama Sempur, ulama NU yang berpengaruh di Jawa Barat dan Banten. Ada satu kejadian menarik saat ia belajar dengan Mama Sempur. Saat itu, Mama Cibogo tidak banyak bicara tetapi hanya fokus belajar kitab dan mengaji, hingga lupa untuk keluar pondok. Bahkan, Mama Cibogo hanya mau keluar kalau disuruh oleh Mama Sempur seperti mengambil air dan bercocok tanam.
Setelah dirasa cukup berguru kepada Mama Sempur, Mama Cibogo lantas melanjutkan untuk menimba ilmu ke Mekkah. Di sana, ia belajar banyak ke mualim para pengarang kitab. Di antaranya Sayyid Alwi Al-Maliki dan Syekh Mukhtar bin Atharid Al-Bughuri Al-Batawi Al-Jawi Al-Makki. Kemudian sepulangnya dari Mekkah, Mama Cibogo langsung belajar ke beberapa pesantren di Tanah Jawa. Salah satu tujuannya adalah Pesantren Tebuireng, Jombang, Jawa Timur dan belajar langsung kepada Hadlratussyekh KH Hasyim Asy’ari.
Menulis kitab
Mama Cibogo memiliki kebiasaan menukil kitab. Sebanyak 63 kitab yang ditulis, lantaran rajin membaca karya ulama terdahulu dan dinukil untuk menjadi referensi. Mama banyak menulis kitab dengan aksara arab berbahasa Sunda.
Beberapa hasil karya tulisannya adalah Hikayat al-Mutaqaddimin, Kasyf al-Humum wal Ghumum, Majmu’at Da’wat, Risalah Zakat, Syair Qiyamat, dan Risalah Syurb ad-Dukhan. Sejak berakhirnya perang kemerdekaan, Mama Cibogo memang sudah kembali fokus membangun pesantrennya. Kemudian juga membuka jejaring kembali dengan KH Muhammad Thohir Rohili, Habib Ali Kwitang, dan Guru Mansur. Ulama-ulama Betawi inilah yang kemudian memperbanyak karya Mama Cibogo untuk disebarkan ke masyarakat.
Selanjutnya, ia juga membangun dan memiliki kedekatan dengan para jawara di Tanah Betawi. Salah satunya adalah Abah Ghozali Guntung yang merupakan murid Mama Cibogo dari Banten.
Dari semua pelajaran ilmu agama yang sudah didalami, Ilmu Falak adalah ciri khasnya. Kevalidan data dalam memprediksi sesuatu sudah diakui oleh ulama-ulama lain. Pesantrennya itu hingga kini dikenal dengan Pesantren Falak. Bahkan, Pesantren Al-Baqiyyatus Sholihat Cibogo, Cibarusah, dikenal dengan pelopor almanak atau kalender yang kemudian disebarkan di daerah Bogor, Bekasi, Banten, dan Jakarta. Ketika masyarakat butuh rujukan untuk bercocok tanam, memulai puasa dan lebaran, maka rujukan utamanya adalah Mama Cibogo.