Nasional

Gugatan Mentan Amran ke Tempo Dinilai Mengancam Ekosistem Pers dan Demokrasi di Indonesia

Kamis, 6 November 2025 | 22:00 WIB

Gugatan Mentan Amran ke Tempo Dinilai Mengancam Ekosistem Pers dan Demokrasi di Indonesia

Suasana diskusi publik bertajuk Amran Sulaiman Hancurkan Ekosistem Pers karena Gugat Media, Apa Dampaknya? yang digelar Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta, Kamis (6/11/2025). (Foto: tangkapan layar Youtube)

Jakarta, NU Online

Sejumlah kalangan menilai gugatan Menteri Pertanian Amran Sulaiman terhadap PT Tempo Inti Media Tbk bukan sekadar sengketa hukum biasa, melainkan ancaman serius bagi ekosistem pers dan kehidupan demokrasi di Indonesia.


Dalam diskusi bertajuk Amran Sulaiman Hancurkan Ekosistem Pers karena Gugat Media, Apa Dampaknya? yang digelar Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta, Kamis (6/11/2025), berbagai pihak menyoroti dampak jangka panjang dari praktik pejabat publik menggugat media.


Mustofa Layong dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers mengatakan bahwa kasus Amran Sulaiman yang menggugat PT Tempo Inti Media Tbk, tidak berdasar hukum. Sebab hanya soal pelaksanaan Dewan Pers menerbitkan Pernyataan, Penilaian, dan Rekomendasi (PPR) yang dibuat rumit.


"Yang digugat oleh Menteri Pertanian Amran Sulaiman bukan berita Tempo, tapi karena Tempo dilakukan perbuatan melawan hukum karena tidak melaksanakan PPR seluruhnya," kata Mustofa.


Mustofa mengatakan karena yang digugat pelaksanaan terkait PPR jelas kewenangan Dewan Pers. Tempo juga sudah menawarkan hak jawab tetapi Menteri Pertanian menolak atau menanggapi dalam proses mediasi.


Mustofa mengatakan bagi banyak orang yang punya kekuatan finansial bisa menyewa (hire) pengacara, sementara Tempo bayar pajak untuk menghadapi gugatan dirinya sendiri sehingga dinilai tidak adil atau sah karena pemerintah mengajukan gugatan kepada warga negara dan media.


"Ketika kita melihat itu ada hal yang sangat penting bahwa menurut kami ketika cara-cara seperti ini dibenarkan maka persoalan benar dan kalah, tapi ini persoalan bagaimana kita terancam hidup susah karena penyampaian pendapat dianggap pencemaran nama baik, kita bisa digugat," katanya.


Persoalannya, lanjut Mustofa, tidak semua orang siap finansial dan waktu. Dalam konteks perusahaan pers, banyak perusahaan terseok-seok membayar karyawan disuruh menghadapi gugatan.


"Ini bukan persoalan benar dan salah, ini persoalan menambah beban bagi media bahkan masyarakat sipil seperti LBH Pers. Digugat pasti akan menerima dampak. Mereka menganggap ini cara-cara legal tetapi sebenarnya adalah modal gugatan yang tidak bisa dibenarkan karena tidak punya dasar," jelasnya.


Akademisi hukum dari STIH Jentera Asfinawati mengatakan bahwa kasus Tempo bukan hanya ancaman terhadap Tempo atau media massa secara umum, tetapi ancaman terhadap demokrasi karena media sedang membuka informasi publik dan membuka kebenaran.


"Apa yang dilakukan Menteri Pertanian adalah sedang menutup informasi publik dan sedang menutup kebenaran. Akhirnya, dia juga mengancam entitas demokrasi yang tidak hanya media dan Tempo, tapi yang lain-lain chilling efect itu sehingga berita ini terkonsentrasi enggak kembali meluas," ujarnya.


Asfinawati menilai ada upaya untuk melebihkan delik kasus utama ke dalam persoalan lain yang menguntungkan Menteri Pertanian. Sebab yang dialami Tempo bukan hal yang mengejutkan karena sudah dinormalisasi dari masa pemerintah sebelumnya.


"Ada gugatan, kritik dihujat seolah horizontal oleh orang-orang bayaran, tapi juga dilaporkan ke polisi. Jadi ini hanya pengulangan saja tapi harus kita lawan karena besar kemungkinan ini bukan pertama dan terakhir, apalagi kalau berhasil," tegasnya.


Jurnalis sekaligus Produser Dirty Vote Dandhy Dwi Laksono mengatakan kasus Tempo tidak berdiri sendiri di ruang hampa. Ia menilai kasus tersebut sebagai kemunduran demokrasi di Indonesia (democratic backsliding) yang menandakan semakin kuatnya gejala otoritarianisme.


Menurutnya, tanda-tanda otoritarianisme yang muncul sekarang justru melengkapi sebuah ruang makin validasi menuju masa otoritarianisme.


"Kembalinya militerisme, tidak ada oposisi di DPR, parpol yang makin kartel, oligarki yang menguat dan terpusat," katanya.


Perkara gugatan Kementerian Pertanian kepada Tempo terdaftar dengan nomor 684/Pdt.G/ 2025/PN JKT SEL. Kementerian yang dipimpin oleh Amran Sulaiman itu menilai, Tempo telah melakukan perbuatan melawan hukum kepada penggugat sehingga mengakibatkan kerugian materil maupun immateril.


Kementerian Pertanian menuntut ganti rugi materiil senilai Rp19.173.000. Jumlah tersebut dinilai perlu untuk biaya mencari dan mengumpulkan data-data terkait pemberitaan media dan rapat kegiatan pertemuan ihwal perbuatan yang dituduhkan kepada kepada Tempo.


Tempo juga diminta membayar Rp200 miliar sebagai ganti rugi immateril. Menurut penggugat, perbuatan Tempo berdampak pada penurunan kinerja Kementerian Pertanian, mengganggu keberlangsungan program dan kegiatan, serta berdampak pada kepercayaan publik terhadap Kementerian Pertanian.