Bojonegoro, NU Online
Rais Syuriyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), KH Ahmad Bahauddin Nursalim (Gus Baha) menjelaskan tafsir Surat At-Taubah Ayat 41 tentang jihad dalam versi kekinian.
Menurutnya, dulu orang memaknai ayat "Wa jahidụ bi`amwalikum wa anfusikum fi sabilillah," jika perang dengan kebatilan maka ada yang membiayai. Seperti Sayidina Usman yang membiayai Perang Khandaq dan Perang Tabuk.
Saat itu, biaya perang untuk beli senjata. Dalam ilmu balaghah, melihat ayat ini jika konteks tidak disebut malah umum. Allah hanya bilang berjuanglah kamu dengan melibat harta kamu.
"Wajahidu itu sesuai zaman, karena konteksnya tidak disebutkan. Berjuang dengan wa jahidu bi amwalikum, itu tafsirnya luas. Semisal untuk membeli dan membuat kekuatan," jelasnya dalam kajian bersama Pesantren Al-Aly Bojonegoro, Sabtu (26/6).
Gus Baha menceritakan, dulu pemain bola Muslim di Eropa dan Amerika kesulitan dalam beribadah. Setelah Manchester City sahamnya dibeli orang Islam, bukannya dibolehkan shalat, tapi malah dibuatkan masjid untuk shalat.
Artinya, kata Gus Baha, segampang itu orang beragama saat melibatkan unsur uang. Lebih lanjut katanya, di Jerusalem itu ada beberapa hotel milik orang Turki, di sana ada adzan dan salat jamaah yang dilakukan secara tenang.
Secara sosiologi Gus Baha merasakan hal ini secara langsung. Ia pernah salat di Palestina dan Tel Aviv tanpa gangguan, meskipun dikuasai Zionis karena yang punya adalah orang Turki. Karena pemilik ada Muslim, mereka bisa bawa muadzin dan melakukan ritual agama. Karena di sana sebagai pemiliki modal (investor).
"Mereka melihatnya bukan sebagai orang Islamnya, tapi sebagai investor. Akhirnya shalat dan apa saja nyaman. Itu barakahnya berjuang melibatkan harta di zaman sekarang," imbuh Pengasuh Lembaga Pembinaan Pendidikan dan Pengembangan Ilmu Al-Qur'an (LP3iA).
Dalam pandangan Gus Baha, kemenangan bagi Islam itu tidak selalu harus menang dalam pertarungan fisik, tapi bisa di artikan menang ekonomi dan peradaban karena saat itu diperlukan.
Sebuah kekuatan bisa mempengaruhi komunitas. Dengan begitu orang-orang akan terbiasa dengan kebaikan. Orang biasa mendengarkan ada adzan, biasa mendengar wiridan, biasa bawa kitab saat ngaji. Kita menganggap kebenaran itu ma'ruf, diketahui orang banyak.
"Jika kita datang ke daerah yang minoritas Muslim sebagai buruh atau pekerja kasar maka untuk salat itu susah. Namun, jika sebagai pemodal maka akan mendatangkan keamanan dari rasa takut. Ciri beragama, dengan harta ini terasa banget di Inggris," tegas alumnus Pesantren Al-Anwar Sarang ini.
Selain itu kata Gus Baha, seorang dokter juga bisa dakwah dengan ilmunya. Karena ia memiliki power di bidang kesehatan. Ketika seorang dokter Muslim bisa menarik simpatik karena dibutuhkan.
Sementara ini, di Indonesia umat Muslim-nya masih menang keyakinan, semisal ada orang tidak shalat naik ferrari melamar seorang gadis di desa, maka yang diterima malah pemuda yang biasa, tapi rajin shalat. Sikap ini terbentuk karena kebaikan sudah jadi kebiasaan.
"Bagi perempuan, jika ada perempuan cantik dan buruh maka pikiran majikannya aneh-aneh, bisa diganggu. Namun, perempuan cantik yang jadi majikan maka buruhnya takut untuk mengganggu. Artinya power itu penting. Orang lelaki jahat akan mudah menyalurkan syahwat jika punya kekuasaan," tandas Gus Baha.
Kontributor: Syarif Abdurrahman
Editor: Kendi Setiawan