"Pengaruh media sosial berandil besar sebagai sarana penyampai paham-paham radikal," kata Sekretaris AMAN, Dwi Rubiyanti Kholifah. (Foto: istimewa)
Syifa Arrahmah
Kontributor
Jakarta, NU Online
Sekretaris Jenderal Internasional Asian Muslim Action Network (AMAN) dan Country Representative Aman Indonesia, Dwi Rubiyanti Kholifah mengutarakan dua alasan yang melatarbelakangi keterlibatan perempuan menjadi anggota terorisme.
Pertama, faktor internal keinginan eksistensinya diakui sehingga bisa lebih berdaya. Kedua, pengaruh media sosial berandil besar sebagai sarana penyampai paham-paham radikal.
"Ketika mulai muncul internet, media sosial, dan teknologi yang sangat canggih maka inilah yang memperbesar ruang intervensi mereka karena tidak lagi melakukan peran yang tradisional. Tapi, mereka penting untuk melakukan peran yang lebih besar, baik itu sebagai penggalangan dana atau propaganda bahkan mereka membuat situs yang sengaja dibuat match maker (mak comblang) untuk para jomblo untuk kemudian dipasangkan dan melakukan eksekusi," kata Ruby, Senin (17/5) dalam acara Muslimah Indonesia Bicara tayangan TVRI.
Peran tersebut semakin didukung dengan tidak menampakkan wujud visual pelaku perempuan supaya berkesempatan besar untuk melangsungkan aksinya. Demikian juga strategi yang diterapkan kepada pelaku anak-anak agar sama-sama mendapatkan identitas yang diidam-idamkannya melalui situs-situs keislaman sebagai jaminannya.
"Nah, jadi kehausan dan juga keinginan untuk diakui itu faktor paling besar yang mendorong perempuan dan anak-anak terjebak pada perekrutan. Karena mereka juga menawarkan sesuatu yang menggiurkan (surga) bahkan bisa menjamin mereka masuk," ujar peneliti aktivis gender ini.
Oleh karena itu, ia menegaskan untuk meneliti sumber-sumber resistensi perempuan yang variatif menggunakan sudut pandang gender karena motivasi keagamaan yang disampaikan juga bermacam-macam. "Kalau laki-laki 72 bidadari kalau perempuan 43 tiket masuk surga. Tapi sama-sama didoktrin secara kuat," tegasnya.
Menyambung pernyataan Rubby. Wakil Sekertaris Jendral Majelis Ulama Indonesia (MUI), Ny Badriyah Fayumi menyampaikan bahwa aksi teror yang saat ini banyak melibatkan perempuan tidak bisa dianalogikan dengan zaman ketika Nabi SAW dan para sahabat melakukan peperangan. Karena negara Indonesia merupakan negara majemuk yang membebaskan dan memfasilitasi setiap warganya untuk menyuarakan pendapat bahkan mengkritik aturan-aturan pemerintah.
"Perempuan yang mau jadi pemimpin juga bisa. Dan para ulama kita menjadikan NKRI ini dengan semangat bahwa inilah pilihan terbaik untuk kita umat Islam yang hidup di negara yang majemuk. Jadi, NKRI ini adalah negara kesepakatan negara damai yang kita bisa memperjuangkan apa saja yang kita inginkan sesuai dengan apa yang kita sepakati," tutur Ny Badriyah.
Sehingga, kata dia, tidak ada alasan untuk memperjuangkan setiap masalah dengan jalan yang menimbulkan kekacauan apalagi sampai menafsirkan sejarah awal Islam bahwa Muslimah juga terlibat dalam peperangan.
"Konteksnya sama sekali berbeda," terang Mufasir Perempuan Lulusan Kairo ini.
Jihad tidak sebatas peperangan
Pengasuh Pondok Pesantren Mahasina Darul Qur'an wal Hadits Pondokgede, itu meluruskan makna kata jihad yang harus dipandang secara luas agar menghindari penyalahmaknaan yang merujuk pada peperangan.
Menurutnya, makna jihad yang luhur dan mulia seyogianya jauh dari rasa benci yang dapat memecahbelah persatuan apalagi sampai digunakan sebagai dalil untuk melancarkan aksi teror. Sebab, dalam Islam esensi jihad adalah bersungguh-sungguh melakukan kebaikan dan perbaikan diri dalam rangka menggapai ridha Allah SWT.
"Jadi, bom bunuh diri itu bukan jihad karena dia (pelaku) tidak akan mendapat kebaikan karena membunuh orang tanpa hak dan menebar kebaikan," kata Ny Badriah. dalam acara Muslimah Indonesia Bicara yang tayang di TVRI, Senin (17/5).
Peluasan arti jihad sudah terjadi dan dilakukan pada zaman Nabi SAW ketika di Makkah dengan mengajarkan Al-Qur'an kepada penduduk Makkah. Bahkan disebutkan dalam salah satu hadits ada seorang sahabat yang ketika hendak berangkat perang tidak mendapat izin dari ibunya, kata Ny Badriyah, Nabi SAW memerintahkan sahabat itu untuk kembali pulang dan berbakti kepada ibunya sebagai tanda jihad.
"Jadi berbakti kepada orang tua juga itu adalah Jihad," terangnya.
Disampaikan oleh Ny Badriyah dalam sebuah hadits Nabi SAW kepada Sayyidah Aisyah, bahwa jihad bukan hanya diperuntukkan kepada laki-laki saja akan tetapi wajib juga kepada perempuan tanpa harus ikut berperang. Yaitu, dengan berhaji atau umrah serta menolong perempuan-perempuan kepala keluarga (Janda) dan orang-orang miskin.
"Dan orang-orang yang melakukannya sama seperti jihad di jalan Allah. Jadi, jihad itu luas sekali jangan dipersempit hanya kepada peperangan apalagi bunuh diri, itu tidak ada dalam kamus Al Qur'an maupun Hadits," terang Nyai kelahiran Pati Jawa Tengah ini.
Kontributor: Syifa Arrahmah
Editor: Kendi Setiawan
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Gambaran Orang yang Bangkrut di Akhirat
2
Khutbah Jumat: Menjaga Nilai-Nilai Islam di Tengah Perubahan Zaman
3
Khutbah Jumat: Tolong-Menolong dalam Kebaikan, Bukan Kemaksiatan
4
Khutbah Jumat: 2 Makna Berdoa kepada Allah
5
Khutbah Jumat: Membangun Generasi Kuat dengan Manajemen Keuangan yang Baik
6
Rohaniawan Muslim dan Akselerasi Penyebaran Islam di Amerika
Terkini
Lihat Semua