Gus Ghofur Maimoen Jelaskan Pendidikan Spiritual Rasulullah
Selasa, 12 Oktober 2021 | 05:30 WIB
Jakarta, NU Online
Rais Syuriyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Abdul Ghofur Maimoen menjelaskan, salah satu tugas Nabi Muhammad diutus ke muka bumi adalah untuk melakukan pendidikan spiritual.
“Ngaji-ngaji yang beliau (Nabi Muhammad) gelar di masjid atau di tempat lainnya tidak hanya sekadar kegiatan transfer ilmu, tapi juga berfungsi penguatan spiritual,” kata Gus Ghofur lewat facebooknya, Senin (11/10/2021) kemarin.
Sejumlah ayat di dalam Al-Qur’an juga menegaskan hal demikian, bahwa Nabi Muhammad memiliki tugas untuk melakukan pendidikan spiritual kepada para murid dan sahabatnya. Gus Ghofur lantas mencantumkan beberapa ayat-ayat Al-Qur’an yang menggambarkan hal itu.
Beberapa di antaranya, bisa dibaca di QS Al-Baqarah ayat 129, Ali Imran ayat 164, dan Al-Jum’ah ayat 2. Gus Ghofur, dalam tulisannya itu, menyertakan salah satu dari ayat-ayat yang disebutkan itu.
“Sungguh, Allah benar-benar telah memberi karunia kepada orang-orang mukmin ketika (Dia) mengutus di tengah-tengah mereka seorang Rasul (Muhammad) dari kalangan mereka sendiri yang membacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, menyucikan (jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada mereka Kitab Suci (Al-Qur’an) dan hikmah. Sesungguhnya mereka sebelum itu benar-benar dalam kesesatan yang nyata,” demikian pemaknaan Gus Ghofur terhadap surat Ali Imran ayat 164.
Mengenai fungsi Nabi Muhammad sebagai penjaga spiritualitas umat itu, Gus Ghofur lantas menyampaikan kisah Hanzalah. Seorang yang disebut Gus Ghofur sebagai sekretaris Rasulullah karena memiliki kedekatan pribadi di antara keduanya.
“Ia (hanzalah) mengeluh kepada Abu Bakar bahwa saat bersama Rasulullah mendengarkan petuah-petuah tentang surga dan neraka, ia merasa benar-benar kuat iman dan islamnya sehingga seakan ia bisa melihat sorga dan neraka itu,” jelas Gus Ghofur.
Namun ketika Hanzalah telah pulang, bertemu dengan istri dan anak-anaknya serta melakukan pekerjaan, suasana spiritual yang dialami bersama Rasulullah itu pun banyak yang sirna. Atas dasar itu, Hanzalah merasa diri sebagai orang yang munafik.
“Ternyata Abu Bakar, tempat ia (Hanzalah) menyampaikan keluh-kesahnya, juga merasakan hal yang sama. Keduanya lalu sowan kepada Baginda Rasul untuk menyampaikan ini. Jawaban Rasulullah sangat menggembirakan, bahwa yang seperti itu bukan pertanda munafik. Allah tidak membebani mereka untuk ajeg dalam rasa spiritualitas seperti saat bersama Rasulullah,” terang Gus Ghofur.
Namun Rasulullah berkata kepada Hanzalah dengan ungkapan sesat yang diulangi hingga tiga kali. Menurut Gus Ghofur, mungkin maksud dari ungkapan tersebut adalah ada saat untuk benar-benar konsentrasi beribadah sebagaimana saat bersama Rasulullah, tetapi ada pula saat untuk menyenangkan diri seperti bersama keluarga dan saat bekerja.
“Dalam cerita ini tampak sekali keberadaan Rasulullah sebagai magnet bagi para sahabat untuk mendekatkan diri kepada Allah. Ini pulalah yang kemudian dijalankan para sahabat penerus keulamaan sepeninggal Rasulullah. Posisi apa pun yang dijalani, termasuk sebagai penguasa atau pengusaha, mereka tetap menghadirkan diri sebagai ‘penjaga’ spiritualitas umat,” jelasnya.
Pewarta: Aru Lego Triono
Editor: Fathoni Ahmad