Gus Ulil Jelaskan Hubungan Santri-Kiai Seperti Relasi Ibnu Malik dengan Gurunya
Jumat, 22 Oktober 2021 | 13:00 WIB
Jakarta, NU Online
Pengampu Ngaji Ihya Ulumiddin Online Gus Ulil Abshar Abdalla menjelaskan hubungan santri dengan kiai seperti relasi Ibnu Malik dan gurunya, Ibnu Mu’ti. Hal ini sebagaimana dikutip dari salah satu bait di dalam Kitab Alfiyah yang dikarang Ibnu Malik, fa`iqatan alfiyyatabni mu’thi.
Redaksi itu menyiratkan bahwa Imam Malik merasa Kitab Alfiyah yang dikarangnya lebih unggul dari Kitab Alfiyah yang dikarang gurunya, Ibnu Mu’thi. Kedua ulama ini memang sama-sama mengarang kitab yang diberi nama Alfiyah.
“Gurunya Ibnu Malik itu juga menulis Alfiyah, namanya Alfiyah Ibnu Mu’thi. Nah, Ibnu Malik menulis alfiyah juga namanya Alfiyah Ibnu Malik. Kata Ibnu Malik, kitabku ini walaupun saya santri, lebih baik daripada kitabnya guruku,” terang Gus Ulil saat ditemui NU Online di kediamannya, Jumat (22/10/2021).
Menurut Gus Ulil, bait Alfiyah itu bermakna sebagai karakter santri yang dalam hal pengetahuan harus bisa melampaui gurunya. Para kiai di pesantren pun tidak mempermasalahkan jika santri yang dididiknya itu lebih unggul.
Hal itu berbeda dengan budaya keilmuan pendidikan non-pesantren, terutama perguruan tinggi modern. Gus Ulil mengatakan, biasanya dosen akan tersinggung atau tidak suka ketika mendapati mahasiswa yang lebih pintar darinya.
“Kalau Ibnu Malik nggak begitu. Dia mengatakan Alfiyahku lebih baik daripada kitabnya guruku. Artinya, santri itu harus lebih baik dari gurunya. Ada perkembangan karena ilmu itu tidak statis. Harus ada kemajuan. Kita tidak boleh hanya meneruskan saja, tetapi harus ada sesuatu yang baru,” terang intelektual Nahdlatul Ulama (NU) kelahiran Pati, Jawa Tengah, 11 Januari 1967 itu.
Namun meskipun santri lebih pintar dari kiai, tetapi harus ada etika yang diwujudkan. Hal ini sebagaimana yang terdapat di bait berikutnya pada Alfiyah Ibnu Malik. Bait itu berbunyi wa huwa bi sabqin ha`izun tafdhila mustaujibun tsanaa-iyyal jamila.
“Walaupun kitabku lebih baik dari kitab guruku, saya tetap memberikan penghormatan kepada guru saya karena dia lebih dahulu dari saya dan lebih tua dari saya. Dia punya keunggulan senioritas. Karena itu, etika menghormati guru ini penting sekali. Sesuatu yang saya kira agak melemah sekarang ini,” tutur putra Pengasuh Mansajul Ulum, Pati, Jawa Tengah, KH Abdullah Rifa’i itu.
Santri memang dituntut untuk lebih pintar dari kiai tetapi tetap harus mengutamakan akhlak yang baik atau tidak boleh su’ul adab. Bahkan, Gus Ulil menekankan agar santri tidak menjadi sombong sehingga tidak punya tata krama kepada kiai yang telah mendidiknya.
“Guru kita itu walaupun ilmunya sederhana, tetap harus kita hormati karena mereka itu yang memungkinkan kita untuk menjadi orang berilmu,” tegas menantu dari Mustasyar PBNU KH Ahmad Mustofa Bisri itu.
Terakhir, Gus Ulil menerangkan adab seorang santri kepada kiai yang tidak pernah habis dimakan waktu. Karakter santri adalah senang mendoakan kiainya, secara terus-menerus. Inilah yang ditulis oleh Ibnu Malik dalam alfiyahnya yaitu wallahu yaqdhi bi hibatin wafirah, li wa lahu fi darajatil akhirah.
“Semoga Allah memberikan anugerah kepada guru saya, Ibnu Mu’thi, dengan anugerah yang berlimpah-limpah. Etikanya, santri harus terikat dengan gurunya dengan mendoakan terus-menerus,” katanya.
Gus Ulil menegaskan, hubungan santri dengan kiai ketika di pondok tidak akan pernah putus meskipun sudah menamatkan pendidikan di sana. Hal tersebut berbeda dengan pendidikan modern atau perguruan tinggi non-pesantren. Setelah wisuda, mahasiswa tidak akan ingat lagi dengan dosennya.
“Hubungan santri dengan kiai itu long-life. Bahkan sudah meninggal pun, masih disowani (dengan menziarahi kubur dan mengirim doa),” pungkas Gus Ulil.
Pewarta: Aru Lego Triono
Editor: Aiz Luthfi