Gus Ulil: Kompetisi Global Hanya Bisa Dimenangkan dengan Pengetahuan
Senin, 29 November 2021 | 12:00 WIB
Jakarta, NU Online
Intelektual Nahdlatul Ulama (NU) Ulil Abshar Abdalla (Gus Ulil) menjelaskan bahwa sebagai umat Islam, tidak cukup hanya dengan menguasai ilmu yang fardu ain, tetapi juga ilmu yang fardu kifayah. Ilmu fardu ain misalnya hukum shalat, haji, dan lain sebagainya. Ilmu-ilmu ini harus dikuasai oleh Muslim. Sedangkan ilmu yang masuk dalam kategori fardu kifayah adalah kebalikannya.
Ilmu yang berhukuman fardu kifayah terbagi menjadi dua. Yakni syar’iyah dan ada yang tidak syar’iyah. Termasuk syar’iyah seperti ilmu nahwu, ilmu hadits, dan sebagainya. Sedangkan yang tidak syar’iah seperti matematika, biologi, geografi, dan sebagainya.
Keduanya penting untuk dipelajari, sekalipun yang bukan syar’iyah. Sebab, ilmu-ilmu tersebut yang akan memenangkan seseorang dalam kompetisi global.
“Sekarang itu, kompetisi global hanya bisa dimenangkan dengan pengetahuan,” kata Gus Ulil dalam Kopdar Ngaji Ihya Ulumiddin bersama Gus Ulil Abshar Abdallah yang diselenggarakan oleh PCNU Karawang, Jawa Barat, pada Ahad (28/11/2021).
Mendasari argumennya, Gus Ulil mengutip ayat Al-Qur’an surat At-Taubah ayat 122 yang artinya, “Mengapa sebagian dari setiap golongan di antara mereka tidak pergi untuk memperdalam pengetahuan agama mereka dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali, agar mereka dapat menjaga dirinya.”
Sebab itu, Gus Ulil juga menegaskan, sebagai seorang Muslim, harus mengedepankan ilmu pengetahuan. Sebagaimana dalam kitab Ihya Ulumiddin yang diawali dengan Kitabul ‘Ilmi, bukti bahwa ilmu pengetahuan menjadi prioritas dalam beragama.
“Kalau ada orang Islam kalah dalam bidang pengetahuan, itu harus menjadi otokritik bagi manusianya sendiri, bukan salah Islamnya,” kata menantu Gus Mus itu.
Menurut Gus Ulil, Islam itu tidak hanya sibuk mementingkan agama, tetapi juga ilmu pengetahuan. Sebagaimana ditegaskan dalam Al-Qur’an surat Al-Jum’ah ayat 10 yang artinya, “Apabila shalat telah dilaksanakan, maka bertebaranlah kamu di bumi; carilah anugerah Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak agar kamu beruntung.”
“Kata ‘anugerah’ di sini tidak hanya bentuk materi, melainkan ada pengetahuan yang fardu ‘ain ataupun fardu kifayah,” imbuhnya.
Mencari ridha Allah
Pada kesempatan itu, Gus Ulil juga menyampaikan pentingnya menata niat dalam menuntut ilmu. Menurutnya, seseorang yang menuntut ilmu harus diniati untuk mencari ridha Allah swt. Hal ini berlaku baik untuk ilmu yang syar’iyah maupun yang tidak.
“Ilmu itu kadang-kadang namanya ilmu syar’iyah (bersumber dari wahyu), tapi orang yang mempelajarinya, memiliki semangat tidak syar’iyah,” terang Gus Ulil mengutip Imam Al-Ghazali.
Sebaliknya, lanjut Gus Ulil, ada orang-orang yang mencari ilmu tidak syar’iyah, tetapi semangatnya syar’iyah.
Menurut Gus Ulil, jika seseorang mencari ilmu niatnya karena ridha Allah, maka dia tidak akan memiliki rasa khawatir dalam dirinya. Inilah yang menjadi semangat para santri zaman dulu. Dengan prinsip demikian, lulusan pesantren dulu memiliki jiwa otonom, artinya pendidikan pesantren menciptakan manusia yang mandiri.
“Buktinya, dulu orang kalau tamat pesantren, bukan mencari pekerjaan, tapi menciptakan pekerjaan. Inilah yang dibutuhkan dari generasi sekarang, generasi yang mandiri dengan dasar mencari ridha Allah,” papar Gus Ulil.
Berangkat dari persoalan di atas, Gus Ulil menyayangkan semangat belajar banyak generasi sekarang yang justru menomorduakan ilmu. Seperti mencari ilmu dengan tujuan untuk mendapat ijazah.
“Ijazah memang penting, tapi jangan menganggap ijazah itu sebagai tujuan utama pengetahuan,” pungkas Gus Ulil.
Kontributor: Muhamad Abror
Editor: Syamsul Arifin