Jakarta, NU Online
Cendekiawan Muda Nahdlatul Ulama (NU) Ulil Abshar Abdalla menyebut bahwa Rais ‘Aam PBNU 1999-2014, KH Sahal Mahfudh merupakan sosok ulama fiqih yang tidak hanya pandai berteori saja, tetapi juga sangat tekun mempraktikkan ilmunya.
Hal itu diungkapkan pria yang akrab disapa Gus Ulil ini dalam sebuah diskusi dengan tema Kontekstualisasi Fiqih dari Era Klasik Hingga Era Kontemporer, di Ngopi Santri Pesantren Motivasi Indonesia (PMI), Kampung Cinyosog, Desa Burangkeng, Kecamatan Setu, Kabupaten Bekasi, pada Ahad (13/1).
“Kiai Sahal ini keren sekali. Beliau mendirikan Rumah Sakit Islam (RSI) di Pati. Setelah itu, beliau mendirikan Bank Perkreditan Rakyat (BPR),” ungkap menantu KH Mustofa Bisri atau Gus Mus ini.
Hal itu dilakukan Kiai Sahal karena memiliki alasan bahwa umat Islam tidak bisa produktif kalau tidak sehat dan tidak punya akses kepada modal.
“Itu paradigmanya. Jadi umat Islam maju kalau secara fisik mereka tidak sehat dan secara ekonomi tidak punya akses kepada sumber pembiayaan untuk usaha. Jawabannya harus ada solusi yang konkret,” jelas santri Kiai Sahal di Pondok Pesantren Mathali’ul Falah, Kajen, Pati, Jawa Tengah ini.
Kalau secara fisik harus sehat, berarti mesti ada rumah sakit dan itu didirikan Kiai Sahal. Kemudian untuk akses modal, Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat 2000-2014 ini mendirikan BPR.
“Bank perkreditan rakyat pertama yang didirikan Kiai Sahal bukan BPR Syari’ah,” kata Gus Ulil, mengejutkan hadirin yang memperhatikannya sedari awal dengan saksama.
BPR pertama yang didirikan pertama kali oleh Kiai Sahal itu adalah bank biasa pada umumnya. Baru kemudian, setelah itu, Kiai Sahal mendirikan BPR Syari’ah. “Cara berpikir Kiai Sahal di dalam isu-isu sosial itu sangat kontekstual sekali,” jelas mantan Ketua Lakpesdam PBNU ini.
Gus Ulil melanjutkan, ketika Kiai Sahal mendukung gagasan kontekstualisasi fiqih itu tidak hanya berupa gagasan yang abstrak. Akan tetapi, juga dilakukan secara konkret pada segala kebijakan di dalam membangun berbagai institusi yang dirintis.
“Jadi Kiai Sahal ini bukan kiai yang hanya sekadar ngomong. Tapi beliau bebtul-betul melaksanakan ucapannya dengan merintis sebuah lembaga,” tegas Gus Ulil.
Ia melanjutkan, Kiai Sahal pernah mengatakan bahwa segala sesuatu yang menyangkut masalah sosial-kebudayaan harus berani menggunakan pendekatan yang lebih luas, tidak hanya sekadar menggunakan fiqih saja. “Analisanya bukan analisa tekstual berupa dalil dalam kitab, tetapi juga menggunakan analisa filosofis,” terang Gus Ulil.
Karena itulah kemudian Kiai Sahal mendirikan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan membuka kesempatan kepada anak-anak muda yang belajar Sosiologi, untuk ikut mengembangkan masyarakat di Pati ketika itu, dengan menggunakan analisa sosial modern.
“Beliau sangat terlibat di dalam isu pengembangan masyarakat. Jadi Kiai Sahal itu penggagas sekaligus eksekutor fiqih sosial. Dan hasil ijtihad sosialnya Kiai Sahal dan kemudian dilakukan, itu sangat banyak,” tegas Gus Ulil.
Menurutnya, Kiai Sahal adalah contoh ulama yang ideal. Sebab, Kiai Sahal bukan hanya menguasai tetapi juga mampu menerjemahkan dan melakukan kontekstualisasi fiqih.
“Terjemahan fiqih sosial yang dilakukan beliau itu secara teoritis, konseptual, dan juga terjemahan yang lebih konkret dengan mendirikan sebuah lembaga atau institusi yang hingga sekarang masih hidup terus,” pungkas pria yang menempuh program doktoral di Universitas Boston, Massachussetts, Amerika Serikat ini. (Aru Elgete/Ahmad Rozali)