Nasional

Gus Yahya: Agenda Peradaban NU Tak Angankan Penaklukan dan Dominasi

Kamis, 3 Agustus 2023 | 21:30 WIB

Gus Yahya: Agenda Peradaban NU Tak Angankan Penaklukan dan Dominasi

Ketua Umum PBNU, KH Yahya Cholil Staquf atau Gus Yahya. (Foto: NU Online/Suwitno)

Jakarta, NU Online

Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya) saat ini tengah mengupayakan berbagai pertemuan para pemimpin agama dunia untuk upaya membangun peradaban baru yang lebih mulia.


Forum Religion Twenty (R20) di Bali pada November 2022 dan ASEAN Intercultural and Interreligious Dialogue Conference (IIDC) pada 7 Agustus 2023 mendatang adalah dua di antara upaya PBNU membangun peradaban global yang lebih baik. 


Upaya mempertemukan para pemimpin agama dunia merupakan langkah konkret untuk mewujudkan cita-cita didirikannya NU. Menurut Gus Yahya, NU berdiri karena memiliki mandat peradaban. Namun agenda peradaban yang dikehendaki NU tak mengangankan sebuah penaklukan dan dominasi.


Di dalam buku Perjuangan Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Gus Yahya menegaskan bahwa NU didirikan bukan semata-mata untuk menentang mazhab atau paham Wahabi di Tanah Hijaz.  


"Kalau dikatakan sebagai tanggapan atas dikuasainya Hijaz oleh Keluarga Saud, mungkin ada benarnya, tetapi bukan hanya soal Wahabinya," jelas Gus Yahya dikutip dari buku PBNU (2020: 92), pada Kamis (3/8/2023). 


Menurut Gus Yahya, berdirinya Kerajaan Saudi Arabia merupakan momentum yang sangat menentukan dan terus menjadi salah satu faktor utama dalam dinamika sejarah dunia selama hampir seratus tahun sejak saat itu. 


Pada dasarnya, berakhirnya Imperium Turki Usmani, pada 1920-an, adalah momentum perubahan yang sangat mendasar dalam keseluruhan sejarah peradaban Islam. 


Ia menjelaskan bahwa kemapanan peradaban Islam selama 13 abad sebelumnya, kini memasuki gerbang keluruhan yang tidak dapat dibalikkan lagi. Bahkan Gus Yahya menyebut bahwa saat ini, dunia Islam memasuki musim gugur peradaban. 


Lebih lanjut, Gus Yahya menyebut bahwa Nusantara hanya sebagai pinggiran dalam kerangka sejarah peradaban Islam. Ia mengatakan, Nusantara bukan bagian dari corak sosial-budaya yang dimapankan oleh pusat-pusat kekuasaan Islam yang dominan, baik masyarakat Sunni yang dikuasai Dinasti Usmani di Istanbul, maupun masyarakat Syi’ah yang dirajai Dinasti Shafawi di Isfahan. 


Karena itu, Gus Yahya menilai bahwa wajar saja apabila di Nusantara berkembang corak sosial-budaya masyarakat Muslim yang unik, berbeda dari corak umum masyarakat muslim di belahan dunia Islam lainnya.

 
Gus Yahya nenuturkan, runtuhnya Turki Usmani berhasil menetralisasi Dinasti Shafawi yang menjadi pesaing selama hampir 2,5 abad, sehingga menjadi tonggak terhentinya laju ekspansi politik Islam. Momentum itu juga menandai era baru dalam sejarah peradaban dunia, ketika dunia modern menggelinding dalam helaan dominasi Barat. 


Dengan demikian, terang Gus Yahya, dunia Islam harus memulai suatu pergulatan untuk mencari model yang baru bagi peradabannya sendiri. 


Corak Sosial-Budaya Nusantara

Setelah abad ke-16, Nusantara mengembangkan corak sosial-budaya yang berbeda dari Usmani dan Shafawi sebagai arus utama. Nusantara justru memiliki alternatif yang dapat ditawarkan dalam pergulatan mencari model peradaban baru itu. 


Keunikan corak itulah yang akhirnya membuat para ulamanya mendirikan NU, suatu konstruksi pioner sebagai basis kelembagaan untuk ikut serta dalam perjuangan tersebut. 


"Jelaslah bahwa agenda absolut NU adalah membangun peradaban. Apakah ini arogan? Tidak. NU tidak mengangankan penaklukan dan dominasi," terang Gus Yahya.


Namun, lanjut Gus Yahya, NU berkehendak untuk menyumbang dan dilakukan dengan kesadaran penuh bahwa di luar sana ada aktor-aktor yang sama mulianya dan sama haknya untuk ikut menentukan masa depan umat manusia, baik dari dalam lingkungan Islam maupun dari luarnya. 


Gus Yahya menegaskan bahwa untuk membangun peradaban diperlukan suatu konstruksi sosial-politik sebagai basis untuk mengawali perjuangan. NU berbeda dari organisasi-organisasi lain yang ada di kurun waktu berdirinya. 


"NU hadir dengan konstruksi sosial-politik yang nyaris komplet minus kuasa negara. NU merepresentasikan suatu komunitas dengan ikatan kultural yang kuat, bahkan dengan sejenis 'struktur kekuasaan' berupa pengaruh para kiai dengan daya kendali yang kuat pula atas jamaahnya," terang Gus Yahya (lihat buku PBNU hlm 94). 


Meski NU memiliki 'struktur kekuasaan', tetapi itu pun belum cukup untuk membangun peradaban baru yang lebih mulia. Karena itu, bersama elemen-elemen bangsa lain, NU ikut memperjuangkan NKRI dengan kesadaran penuh untuk memiliki negara sendiri yang berdiri sendiri. 


"Sama sekali tidak ada wawasan untuk bergabung dengan bagian dunia Islam lainnya dalam satu entitas negara, untuk mengembalikan konstruksi Turki Usmani atau yang sejenisnya. Waktu tidak mungkin dipaksa mundur dan kedatangan era peradaban baru telah menjadi kesadaran bersama," jelas Gus Yahya.