Jakarta, NU Online
Sebagai ormas keagamaan terbesar di Indonesia, Nahdlatul Ulama (NU) memiliki potensi besar untuk menjaga nilai-nilai persatuan dan kesatuan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Hal ini disampaikan langsung oleh Ketua Umum (Ketum) Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), KH Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya), saat mengisi webinar bertajuk Peran Nahdlatul Ulama dalam Penguatan Kebangsaan dan Perdamaian Dunia, Rabu (23/3/2022) malam.
“NU ingin memperjuangkan kemaslahatan bagi umat manusia. NU ikut memperjuangkan nilai-nilai kebangsaan,” ungkap Gus Yahya, sapaan akrabnya.
Menurut dia, hal tersebut menjadi mandat bagi NU dalam aktivisme penjaga perdamaian. Tujuannya, sambung Gus Yahya, tiada lain adalah untuk menjaga NKRI, sebagaimana termaktub dalam Undang-Undang Dasar 1945.
“Sebagaimana dalam UUD 1945, maka NU menjaga NKRI. NKRI harga mati itu demi keberlangsungan tata dunia karena tata dunia ini konstruksi peradaban. Dalam hal ini, NU punya posisi yang bukan hanya sangat strategis, tetapi juga secara praktis sangat enak untuk bicara ini kepada semua pihak,” terangnya.
Turut serta menjaga ketertiban dunia, lanjut Gus Yahya, merupakan wujud bangsa Indonesia mewujudkan cita-cita proklamasi sebagaimana juga telah disepakati oleh para pendiri NU.
“Para pendiri NU sudah membuat pilihan untuk ikut andil dalam tata perdamaian dunia. Para pendiri NU tidak mau kembali ke tatanan sebelum Perang Dunia I. Karena tatanan dunia baru ini lebih masuk akal, rasional, dan realistis daripada kembali ke tata dunia lama yang hanya mengandalkan mimpi-mimpi masa lalu,” paparnya.
Perdamaian dunia
Juru bicara Presiden ke-4 RI KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) itu menekankan bahwa menjaga perdamaian dunia adalah kewajiban seluruh masyarakat internasional.
“Karena konflik besar yang terjadi pada kondisi saat ini bisa membawa keruntuhan pada peradaban manusia,” tukas Gus Yahya.
Kiai kelahiran Rembang, Jawa Tengah ini, mengatakan bahwa sedikitnya terdapat dua basis utama menjaga stabilitas keamanan dunia. Pertama, mempertegas perbatasan internasional definitif.
“Kedua, menghormati hak asasi manusia (HAM) universal. Hal itu termasuk dalam isi Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang berlaku sejak Oktober 1945,” terangnya.
Jika tidak ada perbatasan definitif, kata Gus Yahya, sewaktu-waktu suatu negara akan menginvasi negara yang lain.
“Kalau tidak ada HAM universal pasti ada kelompok yang merasa terhina dan memendam kepentingan untuk berkonflik. Dua hal ini menjadi basis dari stabilitas dunia,” urainya.
Kontributor: Nuriel Shiami Indiraphasa
Editor: Musthofa Asrori