Gus Yahya: Radikalisme Itu Pilihan Politik yang Meruntuhkan Peradaban dan Kemanusiaan
Kamis, 13 Januari 2022 | 14:00 WIB
Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya) (Foto: NU Online/Suwitno)
Jakarta, NU Online
Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya) mengatakan, dukungan atas radikalisme lebih dapat dipahami sebagai pilihan politik daripada pilihan teologi. Radikalisme sebagai ideologi dan gerakan berusaha untuk mengembalikan masyarakat dunia ke dalam tatanan politik sebelum Perang Dunia I.
Gus Yahya dalam pertemuan perdana pengurus harian PBNU, Rabu (12/1/2022) mengatakan, realitas politik pasca-Perang Dunia I berbeda dengan sebelumnya yang berbentuk khilafah. Pemaksaan kehendak untuk mengubah realitas politik hari ini berkonsekuensi pada mafsadat dalam berbagai bidang termasuk peradaban.
Salah satu konsekuensi riil gerakan radikalisme adalah pembubaran negara modern yang ada saat ini. kecuali itu, radikalisme di bawah khilafah mesti menuntut korban nyawa umat manusia yang tidak sedikit.
"Tapi ada dimensi yang sangat penting dalam hal ini, yaitu bahwa radikalisme lebih pada soal pilihan politik. Artinya, orang menjadi radikal karena memang pilihan politik. Oleh karena itu, kita mendiskusikan masalah ini dalam pemahaman politik dan dengan mempertimbangkan konsekuensi realistis dari pilihan-pilihan politik itu," kata Gus Yahya di Gedung PBNU, Lantai 8, Jakarta Pusat.
Adapun perdebatan teologis soal radikalisme atau khilafah tidak akan selesai karena masing-masing memiliki argumentasinya secara teologis.
"Kalau mau dicari dalilnya, ada saja dalilnya. Kalau kita mau adu dalil, ya tidak selesai-selesai. Tapi mari kita bicara konsekuensi realistisnya, yaitu kalau kita menghendaki negara-negara ini bubar, maka kita harus meruntuhkan peradaban dunia ini sama sekali dengan meminta ratusan bahkan mungkin miliaran nyawa umat manusia," kata Gus Yahya.
Ia menegaskan bahwa pengusung khilafah telah mengambil jalan politik untuk memperjuangkan ideologinya di tengah realitas politik hari ini. Sedangkan mayoritas umat Islam yang menolak radikalisme dengan basis teologis yang kuat juga mengambil jalan politik berbeda.
"(Adapun) mereka yang memilih jalur radikal itu adalah mereka yang memilih jalur politik untuk memperjuangkan dunia ini kembali ke tatanan lama sebelum Perang Dunia I, yaitu tatanan khilafah. Itu jelas adalah pilihan politik," kata Gus Yahya.
Ia menolak gerakan-gerakan yang meruntuhkan peradaban kemanusiaan. Ia menyatakan jelas penolakannya atas gerakan radikal kelompok yang memaksakan kehendak terlebih harus memakan korban nyawa umat manusia.
"Ini sama sekali tidak bisa kita terima," kata Gus Yahya di hadapan pengurus baru harian PBNU dan sejumlah wartawan dari berbagai media.
Pewarta: Alhafiz Kurniawan
Editor: Kendi Setiawan