Gus Yahya Tegaskan Keterlibatan Perempuan di PBNU Bukan untuk Isu Kesetaraan Gender
Jumat, 25 Maret 2022 | 11:00 WIB
Tasikmalaya, NU Online
Salah satu gestur yang dibuat oleh Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Yahya Cholil Staquf di masa kepengurusan PBNU masa khidmah 2022-2027 adalah melibatkan perempuan di jajaran tanfidziyah PBNU. Ia menegaskan, keterlibatan perempuan di kepengurusan itu bukan untuk isu kesetaraan gender.
Sebab di dalam menyusun kepengurusan sejak awal hingga lembaga dan badan khusus PBNU ini, Gus Yahya merekrut figur-figur atau orang-orang yang sungguh-sungguh punya kualifikasi dan kapasitas, sesuai dengan kebutuhan untuk menjalankan tugas-tugas organisasi.
Gus Yahya mengaku bahwa dalam penyusunan kepengurusan tidak banyak melakukan tawar-menawar. Bahkan, ia juga tidak banyak mendengarkan gerutuan atau ocehan berbagai pihak. Karena itulah, Gus Yahya berani melakukan pembaruan dari tradisi yang pernah berlangsung selama ini.
Di jajaran kepengurusan tanfidziyah, Gus Yahya menyebut dua nama perempuan yang dinilainya memiliki kualifikasi dan kapasitas mumpuni untuk melakukan kerja-kerja organisasi. Keduanya adalah Khofifah Indar Parawansa dan Alissa Qotrunnada Munawaroh Wahid yang ditempatkan di jajaran ketua PBNU.
“Saya mengajak mereka masuk (ke kepengurusan) bukan untuk isu kesetaraan gender seperti yang dipikirkan banyak orang. Saya ajak masuk karena mereka yang terbaik untuk menjalankan tugas. Saya tantang orang-orang untuk mendatangkan orang yang lebih dari mereka, dan sampai sekarang tidak ada. Ini hanya soal waktu,” tegas Gus Yahya dalam Pembukaan Rapat Kerja Nasional (Rakernas) PBNU di Pesantren Cipasung, Kamis (24/3/2022) malam.
Gus Yahya menyebutkan bahwa pernah ada dua orang nyai yang naik ke panggung untuk menyampaikan tuntutan-tuntutannya di depan para muktamirin, pada Muktamar Ke-13 NU di Menes, Banten, pada 1938. Mereka menuntut hak yang sama bagi perempuan untuk memperoleh pendidikan.
Baca juga: Perempuan Asal Sunda Ini yang Pertama Kali Berpidato di Muktamar NU
“Kemudian pada 1946, para kiai sepakat untuk mendirikan satu gerakan perempuan tersendiri, yaitu Muslimat NU. Ini sangat penting kita pahami sebagai wujud dari kesungguhan para pemimpin NU untuk membangun transformasi masyarakat dan bangsa, menuju kualitas kehidupan yang lebih baik,” tegas Gus Yahya.
Ia merasa harus melibatkan kaum ibu sebagai aktor paling berpengaruh di dalam tingkat paling dasar pada struktur masyarakat. Sebab kaum ibu inilah yang menjadi madrasah pertama bagi anak-anaknya.
“Sudah saatnya kita sekarang memanen satu proses pendidikan perempuan yang dengan sangat subur dikembangkan NU. Pesantren-pesantren sudah sejak lama sekali membuka ruang kelas dan langgar pengajian untuk santri perempuan. Mereka mengirim anak-anak perempuan ke tingkat pendidikan lebih tinggi, sehingga sekarang kita memiliki kader-kader perempuan yang sungguh-sungguh unggul yang bahkan sulit diungguli laki-laki,” jelasnya.
Sebagai informasi, dua nyai yang dijelaskan Gus Yahya berani berpidato dalam forum Muktamar itu adalah Nyai Djuaesih, Ketua Muslimat NU 1950-1952 dan Nyai Siti Syarah, tokoh perempuan dari Menes. Berikut laporan Berita Nahdlatoel Oelama Nomor 6 tahun ke-10 edisi 19 Januari 1941, halaman 4/86:
“Kemudian dari pada itu, tampillah ke muka, Nyai Djunaesih, voorzitter (ketua) Muslimat NU Bandung yang telah memerlukan datang di kongres ini, berhubung kecintaan dan tertarik beliau kepadanya. Dengan panjang lebar menerangkan akan asas dan tujuan dari NU adalah suatu perkumpulan yang sengaja mendidik umat Islam ke jurusan agamanya dengan seluas-luasnya. Di dalam agama Islam bukan saja kaum laki-laki yang harus dididik tentang soal-soal yang berkenaan dengan agamanya, bahkan kaum perempuan juga harus mendapat didikan yang selaras dengan kehendak dan tuntunan agama, sebagaimana lakinya. Inilah nantinya yang akan dapat membawa keamanan dunia dan akhirat.”
Pewarta: Aru Lego Triono
Editor: Syamsul Arifin