Gus Yahya Ungkap Kebiasaan Menghitung Secara Statistik Jadi Penyebab Dehumanisasi
Sabtu, 2 Desember 2023 | 04:00 WIB
Ketum PBNU Gus Yahya Staquf saat menyampaikan Pidato Kebudayaan dalam Pembukaan Muktamar Pemikiran NU di Asrama Haji Pondok Gede, Jakarta, pada Jumat (1/12/2023) malam. (Foto: NU Online/Suwitno)
Jakarta, NU Online
Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Yahya Cholil Staquf mengungkapkan bahwa kebiasaan menghitung statistik atau mengambil keputusan berdasarkan pertimbangan angka-angka akan menyebabkan dehumanisasi atau penghilangan hakikat manusia.
Hal itu diungkapkan oleh Gus Yahya saat ia menyampaikan Pidato Kebudayaan dalam Pembukaan Muktamar Pemikiran NU di Asrama Haji Pondok Gede, Jakarta, pada Jumat (1/12/2023) malam.
Baca Juga
Menyongsong Dehumanisasi Birokrasi
Ia menjelaskan, saat orang memikirkan tentang Indonesia pada tahun 1950-an maka pertimbangan keputusan hanya menyangkut 70 juta jiwa rakyat Indonesia. Namun kini, dalam menentukan sebuah kebijakan untuk Indonesia, harus mempertimbangkan eksistensi dari 285 juta jiwa.
Menurut Gus Yahya skala satuan pertimbangan yang berdasarkan pada angka statistik itu berpengaruh terhadap cara manusia dalam berpikir terhadap fenomena-fenomena masyarakat yang terjadi.
Ia menegaskan bahwa konsekuensi dari besarnya skala satuan pertimbangan membuat angka-angka menjadi sentral dalam berbagai macam pertimbangan, sehingga orang tidak punya pilihan selain membuat pertimbangan berdasarkan angka-angka statistik. Menurut Gus Yahya, hal ini akan menjadi sebuah masalah.
“Ketika orang terbiasa membuat pertimbangan berdasarkan angka, orang akan lupa dalam angka yang besar itu ada sejumlah manusia. Saat ini, manusia disederhanakan ke dalam angka seperti halnya dalam penggunaan media sosial,” kata Gus Yahya.
Di dalam jagad maya, manusia hanya dipandang sebagai sebuah akun dan jumlah pengikut menjadi faktor penentu pengakuan terhadap eksistensi mereka. Dengan begitu, kata Gus Yahya, seseorang tak lagi dilihat sebagai manusia.
"Orang tidak lagi dilihat sebagai manusia, tetapi hanya dilihat sebagai akun yang lalu tidak terlalu dipedulikan perasaannya atau akibat yang diterima ketika diperlakukan dengan cara yang tidak semestinya," ungkap Gus Yahya.
Dari fenomena ini, ancaman dehumanisasi menjadi sangat serius dalam pergulatan pemikiran, apalagi pergulatan kebijakan-kebijakan. Ia memberi contoh konflik Israel-Palestina. Menurut Gus Yahya, orang-orang hanya melihat angka tetapi lupa mengingat adanya manusia dalam angka tersebut.
"Kita lihat orang-orang marah karena satu pihak saja. Kepada angka saja mereka tidak peduli, apalagi kepada manusia. Orang lupa bahwa mereka yang disematkan sebagai 1400 Yahudi, Israel, itu manusia. 12.000 orang Arab Palestina itu semua manusia bukan hanya sekadar angka," tegas Gus Yahya.
Gus Yahya mengemukakan bahwa ada kecenderungan dehumanisasi yang harus dipikirkan secara mendalam. Untuk itu, ia berharap Muktamar Pemikiran NU kedua yang bertajuk Imagining Future Society (membayangkan masyarakat masa depan) mampu menghasilkan gagasan yang bisa diimplementasikan oleh masyarakat luas dan bukan hanya untuk kalangan tertentu saja.