Jember, NU Online
Bertani semangka cukup menjanjikan. Meski perawatannya agak susah tapi jika momentumnya tepat, keuntunganya sungguh menggiurkan. Itulah yang melatar belakangi H Muhammad Arif Ismail Sugiarto untuk terjun ke bisnis semangka sekitar 15 tahun yang lalu.
Pria kelahiran Pamekasan, Madura 9 Maret 1962 ini cukup lama bergelut dengan buah holtikultura itu. Nama H Arif, sapaan akrabnya, identik dengan semangka. Selain bertani (semangka) sendiri, ia juga menjadi pengepul buah semangka dari para petani.
Sekian tahun berjalan, H Arif cukup enjoy dengan bisnis yang ditekuninya. Tak pernah terpikir di benaknya untuk berhenti dari usaha semangka. Apalagi saat itu, pemerintah juga menaruh perhatian besar terhadap pengembangan bisnis semangka di tingkat petani. Bahkan H Arif pernah mengikuti pelatihan ekspor-impor yang digelar oleh Kementan RI di Surabaya (2003).
“Hasilnya, saya bisa mengekspor semangka ke Malaysia, Singapore, dan Uni Emirat Arab,” ungkapnya.
Namun lama kelamaan, bisnis semangka mengalami kelesuan. Tidak ada kepastian harga, bahkan saat itu harga semangka melorot tajam hingga ke level di bawah Rp5000/kilogram. Petani pun kalang kabut, satu persatu ‘mogok’ dari aktivitas persemangkaan. H Arif akhirnya juga angkat tangan setelah 10 tahun lebih bergelut dengan buah manis tersebut.
H Arif pun banting setir. Sejak tahun 2004, ia menekuni bisnis jamur. Di usaha ini, H Arif tidak banyak mendapat kendala. Selain menanam jamur, ia juga menjadi pengepul dari 35 petani jamur yang dibinanya. Sampai hari ini tak kurang dari 1 kwintal jamur dihasilkan setiap hari.
“Tapi jika musim hujan, bisa mencapai 3 kwintal tiap harinya. Jadi cuaca juga mempengaruhi hasil produksi,” jelasnya.
Alumnus Pondok Pesantren Banyuanyar, Pamekasan itu memang kreatif, dan selalu mencari terobosan untuk usaha yang ditekuninya. Ia melihat betapa banyak hasil kekayaan alam Indonesia yang diekspor, namun kelak setelah jadi barang siap pakai, justru Indonesia yang menjadi pasar barang tersebut. Karena statusnya sudah barang ‘jadi’ dan juga impor, maka harganya tentu saja mahal, dan mayarakat yang menyuplai barang mentahnya, tidak kuat membelinya.
“Itu tentu saja satu ironi. Kita yang asalnya punya barang, tapi kita akhirnya tidak mampu membeli karena sudah jadi barang jadi (mahal),” terangnya.
Dalam pemikiran H Arif, jamur pun harus jadi barang mahal, minimal lebih mahal dibanding mentahnya. Maka ia berpikir untuk mengolah sayuran tersebut. Jamur diolah sedemikian rupa sebagai camilan atau lauk siap santap, dan itu nilai ekonominya lebih tinggi daripada dijual mentah.
Jamur siap santap itu setidaknya diolah dalam 3 varian. Yaitu crispy jamur, kebab jamur, dan bumbu pecel jamur (tanpa kacang). Produk-produk jamur tersebut sudah beredar di sejumlah toko modern di Kabupaten Jember dan beberapa daerah tapal kuda.
"Sebagian banyak jamur memang dijual untuk umum karena saya pengepul. Sebagian lagi, saya olah,” ucapnya.
H Arif rupanya ingin total dalam mengelola jamur. Ia bergerak dari hulu sampai hilir. Pria yang beralamat di Jalan Merak 64 Kelurahan Gebang, Kabupaten Jember, Jawa Timur itu tidak hanya menanam jamur dan menjual hasilnya, tapi juga memproduksi bibit jamur.
Sejumlah alatpun dibelinya untuk keperluan itu. Meskipun hanya lulusan pesantren salaf, tapi ia paham betul soal kultur jaringan khususnya bibit jamur. Bibit jamur yang diproduksinya bahkan sudah merambah sejumlah daerah, antara lain Kalimantan, Sumbawa, dan Madura.
“Memang (usaha) ini tidak besar, tapi paling tidak ini sudah menginspirasi petani untuk mempunyai usaha sampingan,” tegasnya.
Sosok H Arif memang type manusia yang tak pernah puas dengan usaha yang ada, dan selalu mencari peluang untuk berkembang. Seiring dengan berjalannya waktu, ia pun melirik jahe. Menurutnya, tanaman holtikultura jenis obat-obatan/rempah ini, peluang pasarnya cukup bagus. Sebab saat ini masyarakat cenderung beralih ke jamu herbal, dan itu direspon oleh pebisnis jamu tradisional maupun industri farmasi.
“Informasi dari teman-teman, kebutuhan jahe terus meningkat dari tahun ke tahun,” ungkapnya.
Maka akhir tahun 2018, Wakil Bendahara HKTI (Himpunan Kerukunan Tani Indonesia) Jember itu mulai bertani jahe tanpa meninggalkan usaha jamurnya. Saat ini setidaknya ada 15 petani jahe yang menjadi binaannya. Memang, masa tanam jahe hingga panen membutuhkan waktu yang tidak sebentar, sekitar 1 tahun. Namun hasilnya cukup menggoda, dan harganya cenderung stabil.
Ia menambahkan, Indonesia dikenal mempunyai aneka tanaman rempah yang cukup komplit. Penjajah juga berlomba-lomba menanam rempah, termasuk jahe, untuk kemudian dipanen dan diangkut ke negaranya. Karena itu, tidak heran jika rempah Indonesia sampai saat ini masih diminati mancanegara.
Yang menggembirakan, katanya, permintaan ekspor jahe terus meningkat dari tahun ke tahun. Namun sayangnya hal tersebut tidak diimbagi dengan kesiapan petani untuk meningkatkan produksinya. Karena itu, pemerintah perlu memikirkan stimulan untuk merangsang petani agar bersemangat meningkatkan produksi jahenya. Sehingga kelak, jahe bukan sekadar tanaman pengisi pekarangan yang kosong, atau lahan tandus yang tak terurus.
“Namun menjadi tanaman alternatif yang diprioritaskan,” terangnya.
H Arif adalah sosok petani yang ulet. Jatuh bangun bergelut dengan semangka, lalu beralih ke jamur, dan pada saat yang sama juga menggarap jahe, cukup menjadi bukti keuletannya.
Bagi H Arif, daya juangnya dalam menekuni pertanian tak lepas dari didikan dan pengalamannya di pesantren. Tradisi pesantren yang menuntut santri mandiri ibaratnya jembatan yang harus dilewati. Namun di seberang sana telah megunggu jalan landai. Bagaimanapun susahnya kehidupan, insyaallah santri bisa menyiasati berkat kemandirian yang telah mengakar dalam jiwanya.
“Itulah salah satu barokahnya jadi santri,” pungkasnya.
Pewarta: Aryudi AR
Editor: Ibnu Nawawi