Habib Husein Jafar Sebut Puisi sebagai Alat Perjuangan Lawan Israel
Jumat, 28 Mei 2021 | 14:15 WIB
Jakarta, NU Online
Salah satu bentuk perjuangan yang bisa dilakukan untuk melawan kebiadaban Israel dan membela Palestina adalah dengan puisi. Beberapa tokoh di Palestina berhasil membuat Israel gemetar atas perlawanan yang dilakukan lewat puisi. Begitu pula di Indonesia, banyak tokoh yang berdiri menentang Israel juga dengan puisi.
Pendakwah Habib Husein Jafar Al-Hadar menyebut KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) saat menjadi Ketua Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) pada 1982, menyelenggarakan Malam Solidaritas untuk Palestina di Taman Ismail Marzuki (TIM), Cikini, Jakarta Pusat. Pada acara itu, penyair-penyair Indonesia banyak yang hadir membacakan puisi untuk Palestina.
“Kemudian ada KH Ahmad Mustofa Bisri (Gus Mus), pada Malam Jumat 24 Agustus 2017 menyelenggarakan Malam Puisi bertajuk doa untuk Palestina, juga di TIM. Jadi, jangan remehkan puisi, karena puisi memang penting,” tutur Habib Husein dalam webinar bertajuk Membasuh Luka Palestina di TVNU, Kamis (27/5) kemarin. Acara itu juga dihadiri Gus Mus yang tampil membawakan puisi.
Ditegaskan Habib Husein, perlawanan atas Israel melalui puisi juga telah dilakukan sejak dulu. Sebab puisi sangat efektif untuk menjadi pengobar semangat dalam melawan segala bentuk penjajahan. Salah seorang Penyair Palestina Ghassan Kanafani harus meregang nyawa di tangan Israel karena puisi-puisi perjuangannya.
“Ghassan Kanafani yang dibunuh dalam usia yang masih 32 tahun, karena puisi-puisinya yang menggetarkan perjuangan melawan Israel. Karena besarnya pengaruh puisi sehingga dia harus dibunuh. Karena besarnya pengaruh puisi maka berbagai penyair-penyair lahir di Palestina untuk melawan kedigdayaan Israel,” tutur pria keturunan Arab yang gemar menggelorakan Gerakan Islam Cinta itu.
Penyair yang Membela Palestina dengan Puisi
Dalam kesempatan tersebut, Habib Husein menyebut beberapa penyair yang membela Palestina dan mengutuk penjajahan Israel dengan puisi, diantaranya adalah Mahmoud Darwish yang telah menerbitkan 31 antologi puisi tentang Palestina dan mengakibatkan dirinya harus keluar-masuk penjara.
“Itulah efektivitas puisi untuk melawan penjajahan. Mahmoud Darwish berkata, yang paling berharga yang dapat saya persembahkan untuk bangsa saya adalah puisi yang mengungkapkan jiwa bangsa saya,” jelas Habib Husein.
Sebagaimana dilansir Antara, Darwish telah memublikasikan lebih dari 24 buku syair dan prosa yang berangkat dari pengalamannya di pengasingan Palestina dan konflik sengit Timur Tengah, selama karir yang merentang hampir lima dasawarsa.
Darwish dikenal sebagai penyair terbesar di dunia Arab dan menjadi pengecam keras Israel selama bertahun-tahun. Kemudian Darwish ditahan beberapa kali pada 1960-an sebelum pergi ke pengasingan atas kemauannya sendiri pada 1970. Selama 25 tahun Darwish mengembara dari satu tempat ke tempat yang lain, menghabiskan waktu di beberapa ibukota Arab dan dengan singkat tinggal di Moskow dan Paris.
Darwish mengembuskan nafas terakhir setelah operasi jantung-terbuka pada Sabtu, 9 Agustus 2008 pukul 13.35 waktu setempat di Hermann Hospital di Houston, Texas, Amerika Serikat. Sebelumnya, telah dipasangi alat bantuan hidup selama dua hari menyusul komplikasi yang meningkat akibat operasi.
Sementara itu, di Indonesia sendiri ada penyair kenamaan yakni Taufiq Ismail yang juga membuat puisi berjudul, ‘Palestina, Bagaimana Aku Bisa Melupakanmu?’ yang salah satu baitnya dibacakan oleh Habib Husein dengan penghayatan sangat dalam.
Palestina, bagaimana aku bisa melupakanmu?
Tanahku memang jauh bila diukur kilometer
beribu-ribu jumlahnya
Tapi azan Masjidil Aqsa yang merdu itu serasa terdengar di telingaku
setiap hari dan setiap saat
Begitu pula Gus Mus yang berkemampuan membaca, membuat, dan membawakan puisi untuk memberikan dukungan terhadap perjuangan Palestina. Dalam webinar bertajuk ‘Membasuh Luka Palestina’ itu, Gus Mus membacakan satu puisi karya Ahmed Mater, seorang penyair Irak yang karya-karyanya selalu mewakili Palestina.
Puisi yang dibacakan berbahasa Arab itu lalu diterjemahkan oleh cucu Gus Mus, Ravi Hamadah. Berikut puisinya:
Makanan anak-anak kami di sini dihambur-hamburkan oleh yang mulia keledai
di tempat-tempat perjudian
karena merasa bahwa onta kakeknya
telah melewati sumur-sumur ini sebelum yang lainnya
Wahai orang-orang terhormat
Tanah ini milik kami
Tanaman di atasnya milik kami
Minyak mentah di bawahnya milik kami
dan segala yang ada di tanah ini
dulu dan yang akan datang adalah milik kami
Tapi mengapa dalam kedinginan, kami hanya berbusana ketelanjangan?
Mengapa dalam lapar, kami hanya menyantap kelaparan?
Mengapa kami tenggelam di tengah kubangan hitam di sumur-sumur ini?
Untuk mencetak kemelaratan kami menjadi kehangatan bekal hidup dan kekayaan demi anak-anak Jaddah
Pewarta: Aru Lego Triono
Editor: Aiz Luthfi