Nasional

Hadiah Asrul Sani Untuk Rofiqoh Darto Wahab

Kamis, 4 April 2013 | 01:00 WIB

Kamis (28/3) malam, langit biru menggelap dan mencurahkan rintik-rintik. Kru NU Online mulai dari pemimpin redaksi hingga siapa saja yang rajin singgah di NU Online, lebih repot dari malam sebelumnya.

<>
NU Online malam itu meluncurkan peringatan “10 Tahun NU Online”. Satu dari agendanya memberikan Hadiah Asrul Sani (HAS) kepada lima orang yang terlibat dalam kegiatan kesenian di lingkungan keluarga NU. Rofiqoh Darto Wahab satu dari yang terlibat.

Rofiqoh menerima HAS atas kategori “Tokoh Sejarah” dalam perjalanan berkesenian warga NU. Rofiqoh yang kini berusia di atas 65 tahun itu merupakan qoriah berbakat yang namanya sebagai penyanyi qasidah dan gambus melambung di era 1960-1980.

Kalau Zawawi Imron, Ahmad Tohari, dan Slamet Rahardjo menerima langsung HAS, Rofiqoh tidak demikian. Penerimaan HAS baginya diwakili oleh Ala’i Najib, seorang dari 200 hadirin malam peringatan 10 Tahun NU Online.

Atas kiprahnya dalam seni qasidah dan gambus; dan keterlibatannya sebagai ujung tombak dalam pergulatan seni-politik Manipol, Rofiqoh merupakan bintang yang sangat bersinar di zamannya. Berikut ini merupakan riwayat lengkapnya yang ditulis oleh Hairus Salim dalam Ensiklopedi NU.

Rofiqoh Darto Wahab

Penyanyi qasidah dan qori’ah legendaris. Rofiqoh, lahir 18 April 1945, di Keranji, Kedungwuni, Pekalongan. Ayahnya, K. H. Munawwir adalah pengasuh Pesantren Munawwirul Anam Pekalongan yang memiliki ribuan santri, dan ibunya Hj. Munadzorah berasal dari keluarga Pesantren Buntet, Cirebon. 
Rofiqoh menempuh pendidikannya di Mu’allimat Wonopringga (Pekalongan), Pesantren Lasem (Rembang), dan Pesantren Buntet (Cirebon).  Di pesantren terakhir inilah ia banyak belajar dan mengasah kemampuannya membaca Qur’an secara tepat dan indah, yang kelak menjadi modal pentingnya menjadi penyanyi qasidah.   

Rofiqoh, yang bersuamikan seorang jurnalis dan pengacara, Darto Wahab, adalah generasi pertama qori’ah dan penyanyi qasidah yang masuk dapur rekaman. Lagu-lagu yang dibawakannya terjual ribuan hingga ratusan ribu kopi. Hitsnya seperti ‘Hamawi Yaa Mismis’ atau ‘Ya Asmar Latin Tsani’ telah menjadi lagu klasik dalam genre qasidah yang terus direkam dan diperdengarkan hingga sekarang ini, lebih-lebih dalam versi daur ulangnya. Kesuksesannya masuk dapur rekaman dan sambutan penggemar yang luas saat itu juga menjadi pembuka jalan bagi kehadiran berbagai jenis qasidah, mulai qasidah pop, qasidah dangdut, qasidah modern, dan lain-lain pada masa-masa berikutnya.  

Awal karirnya dimulai ketika ia memenangkan perlombaan baca Qur’an tingkat desa pada usia 15 tahun. Kemenangan yang sama ia raih pada tingkat-tingkat berikutnya: tingkat kecamatan, tingkat kabupaten hingga tingkat provinsi di Yogyakarta. Selain jago membaca Qur’an, Rofiqoh remaja juga gemar mendendangkan shalawat dan lagu-lagu qasidah. Suaranya yang merdu dan kesukaannya menyanyikan shalawat membentuknya menjadi seorang penyanyi qasidah yang hebat. Penting dicatat bahwa qasidah saat itu masih dekat dengan seni baca Al-Qur’an itu sendiri. Membaca Qur’an dengan indah dan menyanyi qasidah adalah dua kegiatan yang beririsan dan saling menunjang, tak terpisahkan.

Awalnya ia menyanyi tanpa diiringi instrumen apapun. Tapi pada suatu acara keagamaan di kota kelahirannya, di tahun 1964, ia tampil bernyanyi diiringi instrumen musik dengan lagu-lagu berirama Mesir atau Libanon. Penampilannya itu segera menarik perhatian, termasuk juga beberapa tamu dari Jakarta yang hadir pada acara tersebut. Setelah itu, ia kerap tampil di luar kota kelahirannya. Titik balik perjalanannya adalah ketika ia diundang sebagai qori’ah ke istana negara pada perayaan Isra Mikraj tahun 1966 dan diundang kembali pada tahun 1967. Ini menjadi pembuka jalannya masuk ke dunia rekaman. 

Tahun 1966, dengan didukung oleh grup musik Al-Fata (Pemuda) pimpinan A. Rahmat, ia masuk dapur rekaman dan piringan hitamnya beredar ke penjuru Indonesia. Lagu-lagunya seperti Hamawi Yaa Mismis, Ya Asmar latin Sani, Ala 'ashfuri dan Ya Nabi salam 'alaik kemudian dengan cepat menjadi populer. Apalagi lagu-lagu itu berulang-ulang disiarkan di RRI dan ia pun beberapa kali tampil di TVRI.  Tahun 1971, rekamannya telah muncul dalam bentuk kaset yang makin memudahkan orang untuk memperolehnya. Rofiqoh mencuat sebagai bintang dan menjadi semacam ‘Ummi Kultsum”-nya Indonesia saat itu.

Roqifoh mendendangkan syair-syair berbahasa Arab, atau sebagiannya berbahasa Arab. Karena itu, yang dibutuhkan di sini bukan sekadar suara merdu, tapi juga kefasihan melafalkannya. Lagu itu didukung perpaduan musik seperti terbang, icik-icik, biola, akordion, suling, dan juga instrumen musik dawai yang disebut ‘ud. Awalnya lagu dibuka dengan pukulan rebana dan icik-icik yang cukup cepat, yang kemudian ditimpali dengan gesekan biola, petikan ‘ud, atau tiupan seruling yang khas. Kadang-kadang instrumen ini satu per satu muncul dominan atau bahkan sendirian. Nyanyian Rofiqoh kemudian diiringi suara latar dari para penyanyi laki-laki yang bersuara berat. Kombinasi inilah kemudian yang dikenal sebagai orkes gambus.        

Dalam dua dekade awal karirnya, hampir setiap dua bulan ia mengeluarkan album rekaman terbarunya, baik berupa pembacaan Qur’an maupun lagu-lagu qasidah dan gambus. Tak ada catatan pasti berapa album yang telah ia telurkan hingga kini. Yang jelas, sampai tahun 1990-an ia masih mengeluarkan album baru, meski sebagian besar daur ulang lagu-lagu lamanya yang sukses. 

Ada tiga hal yang penting dicatat dengan kemunculan Rofiqoh saat itu. Pertama, ia menembus dominasi musik padang pasir yang sejak tahun 1930-an dikuasai oleh irama musik gaya Hadramaut dan dilakoni juga oleh para pemusik dan penyanyi keturunan Hadramaut seperti Syekh Albar (ayah penyanyi Ahmad Albar).

Kedua, Rofiqoh menggugat persepsi kebanyakan kalangan kiai yang masih menganggap musik sebagai suatu yang haram, atau makruh, atau setidaknya lagi mubah saat itu. Ketiga-tiganya, langsung maupun tidak langsung, telah membuat perkembangan seni musik, termasuk yang dikonstruksi ‘islami’ sekalipun, menjadi demikian terbatas di kalangan masyarakat Islam. Kehadiran Rofiqoh pun awalnya sempat dipertanyakan, tetapi atas dukungan beberapa kiai dan tokoh berpengaruh, ia pun bisa melenggang.

Ketiga, Rofiqoh menggoyang dan mengimbangi atmosfer kebudayaan saat itu yang didominasi kalangan Lekra dengan berbagai seni pertunjukan rakyatnya. Panggung-panggung pertunjukan di mana-mana saat itu lebih banyak diisi dan dibentuk oleh seniman-seniman yang berafiliasi atau setidaknya dekat dengan Lekra. Kemunculan Rofiqoh menjadi semacam interupsi atas kecenderungan itu. Tak heran kalau kemunculannya saat itu kerap diusung oleh Lesbumi (Lembaga Seni Budayawan Muslimin Indonesia) di bawah Partai NU. Lagu-lagunya sendiri menjadi semacam lagu wajib di dalam pertemuan-pertemuan atau pun rapat-rapat akbar yang digelar Partai NU.

Di masa tuanya kini, Rofiqoh mengelola dan memimpin kelompok pengajian Ittihadul Ummahat (Persatuan Ibu-ibu) di kawasan kota legenda di Bekasi Timur, mengelola kelompok pengajian Romuna (akronim dari Rofiqoh, Munawwir, dan Munadzorah), dan Yayasan Gadi Fi Muna yang membawahi majlis taklim, taman kanak-kanan dan sejumlah kegiatan sosial. Dia menjadi muballighah dan aktivis sosial, satu persambungan saja dari kegiatan-kegiatan sosial-keagamaan yang dijalani sebelumnya, baik sebagai qori’ah maupun penyanyi qasidah.

 


Penulis                : Alhafiz Kurniawan

Sumber Biografi : Ensiklopedi NU


Terkait