Nasional

Hari Antikorupsi Sedunia 2024, Ini Berbagai Kasus Mega Korupsi di Indonesia yang Belum Tuntas

Senin, 9 Desember 2024 | 18:30 WIB

Hari Antikorupsi Sedunia 2024, Ini Berbagai Kasus Mega Korupsi di Indonesia yang Belum Tuntas

Ilustrasi stop korupsi. (Foto: dok. NU Online)

Jakarta, NU Online

Di Indonesia, beberapa kasus mega korupsi masih terus membayangi, meski sudah bertahun-tahun berlalu.


Pada Hari Antikorupsi Sedunia 2024 ini, NU Online merangkum berbagai kasus besar yang belum terselesaikan. Kasus mega korupsi ini tidak hanya merugikan negara, tetapi juga merusak kepercayaan publik terhadap lembaga-lembaga penting di tanah air.


Korupsi Timah

Salah satu kasus yang mencuat adalah korupsi dalam industri timah, yang melibatkan 16 tersangka, termasuk Mochtar Riza Pahlevi, Helena Lim, dan Harvey Moeis.


Kejaksaan Agung (Kejagung) tengah mempersiapkan dakwaan terhadap para terdakwa dengan total kerugian negara yang diperkirakan mencapai Rp300 triliun.


Harvey Moeis, suami artis Sandra Dewi, yang merupakan salah satu terdakwa utama, dijadwalkan menjalani sidang tuntutan pada 9 Desember 2024.


Ia didakwa terlibat dalam praktik ilegal dalam tata niaga timah di wilayah izin usaha pertambangan PT Timah antara 2015 hingga 2022.


Jaksa juga menambahkan dakwaan pencucian uang dengan menyebut Harvey sebagai penghubung antara PT Timah dan sejumlah perusahaan smelter yang terlibat dalam penambangan timah ilegal.


Menurut audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), kerugian negara akibat skandal ini diperkirakan mencapai Rp300 triliun.


Sementara itu, Profesor Bambang Hero dari IPB University mengungkapkan bahwa kerugian negara bisa lebih rendah, sekitar Rp271 triliun.


Korupsi PT Asabri

Kasus lain yang tak kalah besar adalah korupsi yang melibatkan PT Asabri. Dalam perkara ini, negara diperkirakan rugi sekitar Rp 23 triliun.


Nama-nama besar di pasar modal, yakni Benny Tjokrosaputro dan Heru Hidayat, turut terseret. Benny sebelumnya terlibat dalam kasus Jiwasraya, bahkan dituntut dengan hukuman mati karena merugikan negara hingga Rp22,788 triliun.


Kasus ini juga melibatkan sejumlah pejabat PT Asabri, termasuk mantan Direktur Utama Sonny Widjaja dan Adam Rachmat Damiri. Mereka diduga terlibat dalam manipulasi pengelolaan dana yang seharusnya digunakan untuk kepentingan pensiun dan jaminan sosial.


Korupsi PT Jiwasraya

Kasus mega korupsi lainnya adalah yang melibatkan PT Asuransi Jiwasraya (Persero).


Pada 2021, Benny Tjokrosaputro divonis penjara seumur hidup setelah terbukti melakukan manipulasi besar-besaran dalam pengelolaan dana investasi produk JS Saving Plan. Skandal ini menyebabkan kerugian negara yang diperkirakan mencapai Rp l16 triliun.


Modus operandi dalam kasus Jiwasraya melibatkan manipulasi saham yang nilainya sangat melambung, padahal secara fundamental perusahaan-perusahaan tersebut tidak layak investasi.


Dengan menggunakan dana nasabah, Benny dan komplotannya berhasil menipu banyak pihak dan menggelapkan dana yang seharusnya digunakan untuk kepentingan polis asuransi.


Baru-baru ini, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) juga menjatuhkan sanksi Pembatasan Kegiatan Usaha (PKU) terhadap PT Jiwasraya.


Keputusan ini menghalangi perusahaan tersebut untuk menerima nasabah baru dalam jangka waktu yang belum ditentukan, sebagai akibat dari pelanggaran yang dilakukan di sektor perasuransian.


Korupsi Proyek BTS 4G

Kasus mega korupsi lainnya adalah proyek pembangunan menara BTS 4G yang digulirkan oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) melalui program Bakti.


Proyek ini bertujuan untuk menyediakan layanan digital di daerah 3T (terdepan, terluar, dan tertinggal), dengan target membangun lebih dari 7.900 menara BTS di seluruh Indonesia pada 2021-2022.


Namun, hingga akhir 2022, pembangunan BTS baru tercapai 86 persen dan hanya sebagian kecil dari target yang berhasil "on air".


Kasus ini menyeret Menkominfo Johnny G Plate yang akhirnya ditetapkan sebagai tersangka pada Mei 2023. Penyidik mengungkapkan bahwa kerugian negara akibat proyek ini diperkirakan mencapai lebih dari Rp8 triliun, yang berasal dari manipulasi harga, penyusunan kajian hukum yang tidak sah, dan pembayaran untuk BTS yang belum dibangun.


Proyek ini dimulai dengan komitmen membangun 4.200 menara pada 2021 dan 3.700 menara pada 2022. Namun, laporan Kementerian Kominfo menunjukkan bahwa anggaran yang sebenarnya digunakan jauh lebih besar dari yang dilaporkan, mencapai Rp10 triliun, sedangkan yang dipertanggungjawabkan hanya sekitar Rp2 triliun.