Hasil Penelitian: 2,4 Juta Remaja Indonesia Terkena Gangguan Jiwa
Rabu, 14 Desember 2022 | 19:30 WIB
Jakarta, NU Online
Masalah kesehatan mental belum sepenuhnya mendapat perhatian khusus masyarakat Indonesia. Angggapan tabu pada kesehatan mental seringkali membuat hal ini dikesampingkan dalam kehidupan sehari-hari. Padahal, kondisi mental yang sehat menjadi salah satu kunci untuk menjaga kesehatan individu, baik kesehatan tubuhnya dan kesehatan diri terhadap lingkungannya.
Berdasarkan penelitian The Indonesia National Adolescent Mental Health Survey (I-NAMHS) yang bekerjasama dengan Universitas Gadjah Mada, disebutkan sebanyak 2,45 juta remaja Indonesia didiagnosis mengalami gangguan jiwa selama 12 bulan terakhir.
Bukan hanya itu, penelitian ini juga menemukan 15,5 juta remaja mengalami gangguan kesehatan jiwa dalam kurun waktu 12 bulan terakhir.
Itu menunjukkan bahwa satu dari tiga remaja Indonesia memiliki masalah kesehatan mental sementara satu dari dua puluh remaja Indonesia memiliki gangguan mental dalam 12 bulan terakhir. Remaja dalam kelompok ini adalah remaja dengan rentang usia 10-17 tahun.
“Gangguan jiwa yang paling banyak diderita remaja adalah gangguan kecemasan (kombinasi fobia sosial dan gangguan kecemasan umum) sebesar 3,7 persen, diikuti oleh gangguan depresi mayor sebanyak 1,0 persen, gangguan perilaku 0,9 persen, serta PTSD dan ADHD, keduanya 0,5 persen," dikutip NU Online dari laman resmi UGM, Rabu (14/12/2022).
Bukan hanya masalah gangguan mental, tim peneliti juga menemukan masih sedikit remaja yang mencoba mencari bantuan profesional berkaitan dengan masalah mental yang mereka hadapi. Padahal pemerintah saat ini telah meningkatkan akses ke berbagai fasilitas kesehatan berkaitan dengan pemeriksaan mental ini.
"Hanya 2,6 persen remaja dengan masalah kesehatan mental yang mengakses layanan dalam 12 bulan terakhir," kata tim peneliti.
Sementara itu, penyakit mental yang paling umum dialami oleh remaja yaitu fobia sosial, gangguan cemas menyeluruh, gangguan depresi mayor, gangguan perilaku, gangguan stres pasca trauma (PTSD), dan gangguan pemusatan perhatian dan hiperaktivitas (ADHD).
Peneliti juga mengidentifikasi faktor risiko dan pelindung yang berhubungan dengan gangguan mental remaja seperti perundungan, sekolah dan pendidikan, hubungan teman sebaya dan keluarga, perilaku seks, penggunaan zat, pengalaman masa kecil yang traumatis, dan penggunaan fasilitas kesehatan.
Pengaruh pandemi Covid-19
Psikiater Lembaga Kesehatan PBNU dr Citra Fitri Agustina menyampaikan bahwa Pandemi Covid-19 yang telah terjadi sejak 2020 lalu juga memberi dampak yang cukup signifikan dalam hal kesehatan mental remaja.
“Perubahan aktivitas selama pandemi juga membuat mereka (merasa) lebih tertekan, lebih cemas, lebih kesepian, atau lebih sulit berkonsentrasi dibandingkan sebelum pandemi Covid-19 melanda,” kata dr Civi, sapaan akrabnya.
Ia juga menyebut bahwa isolasi sosial dan perasaan kesepian meningkatkan risiko depresi dan kecemasan, durasi perasaan kesepian ini memiliki dampak paling besar terhadap kesehatan mental anak-anak.
“Intinya, berkurangnya aktivitas fisik yang dilakukan jadi pemicu depresi dan kecemasan,” imbuh dia.
Pewarta: Syifa Arrahmah
Editor: Muhammad Faizin