Heboh Isi Ceramah KDRT, Pendakwah Diimbau Pahami Isunya dari Dua Sisi
Selasa, 8 Februari 2022 | 21:00 WIB
Komisioner Komnas Perempuan, Hj Maria Ulfah Anshor (tengah) dalam sebuah acara. (Foto: Dok. FB. Maria Ulfah Anshor)
Jakarta, NU Online
Komisioner Komnas Perempuan, Hj Maria Ulfah Anshor, turut menyayangkan isi ceramah OSD soal kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Ia pun mengimbau agar yang bersangkutan memahami isu KDRT dari dua sudut pandang.
“Seorang pendakwah perlu melihat dua sudut pandang bila ingin membicarakan mengenai masalah tersebut,” ujar Maria kepada NU Online, Selasa (8/2/2022).
Pertama, kata Maria, berdasarkan substansi KDRT melalui perspektif Islam yang dengan tegas mengatakan bahwa kekerasan terhadap seorang istri merupakan tindakan yang dilarang dalam banyak hadits, bahkan Al-Qur’an.
“Ada Al-Qur’an yang dengan sangat clear mengatakan wa’asyiruhunna bil ma’ruf. Bahwa pergaulan atau relasi, gaulilah istrimu dengan baik. Itu relasi tidak hanya bergaul dalam arti bersetubuh, ya,” kata mantan Ketua Umum Pimpinan Pusat Fatayat NU itu.
Agama Islam, kata Maria, menekankan bahwa seluruh interaksi kehidupan selama masa perkawinan haruslah bersifat ma’ruf, baik, dan bermartabat. Sehingga saat menyampaikan ceramah mengenai KDRT, sebaiknya pendakwah memberi pemahaman kembali tentang kedudukan relasi itu dalam ajaran Islam.
“Sementara pada sudut pandang hukum positif, pendakwah harus memahami bahwa negara telah memiliki sebuah Undang-Undang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (PKDRT),” terang Maria.
Pasalnya, lanjut dia, dalam UU PKDRT disebutkan kekerasan merupakan tindakan terlarang. Kemudian, meskipun seorang istri tidak merelakan suami untuk dihukum, perlakuan itu tetap bisa diadukan kepada kepolisian karena telah melakukan pelanggaran terhadap undang-undang.
“Nah, melalui kedua sudut pandang itulah, pendakwah bisa membekali dirinya dan menegaskan bahwa kekerasan dalam substansi Islam, merupakan hal yang dilarang dan tidak membenarkan kekerasan dalam rumah tangga disimpan ataupun disembunyikan,” tegasnya.
Menurut mantan aktivis Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (Lakspesdam) NU itu, baik lelaki maupun perempuan harus punya perspektif Islam yang rahmat lil alamin. Islam yang ramah kepada segenap umat manusia, termasuk alam semesta.
“Itu universal sekali dan harus dipahami oleh semua orang Muslim, apalagi bagi seorang penceramah, da’iyah seperti itu,” tandas aktivis perempuan kelahiran Indramayu, 15 Oktober 1960 itu.
Oleh karenanya, ditegaskan kembali bahwa seorang pendakwah wajib hukumnya memahami secara mendalam soal isu KDRT tersebut.
Selain itu, Maria juga menilai, OSD tidak berempati terhadap korban KDRT karena menyebut perempuan suka melebih-lebihkan. Pernyataan itu, diucapkan OSD secara gamblang dalam isi ceramahnya. “Itu menurut saya, dia memang tidak berempati dengan korban,” ujarnya.
Ratifikasi
Sementara terkait KDRT, Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Fatayat NU (PW Fatayat NU) DKI Jakarta, Kartini Laras Makmur, mengatakan bahwa Indonesia sudah meratifikasi Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women (CEDAW) pada 24 Juli 1984 melalui UU Nomor 7 Tahun 1984.
Konvensi tersebut, lanjut Kartini, menerangkan bahwa KDRT bisa merujuk pada General Recommendation Nomor 19 CEDAW Committee Tahun 1992.
“Yaitu, kekerasan berbasis gender yang dimaksud adalah berbagai bentuk kekerasan baik kekerasan fisik, psikis, dan seksual yang terjadi dan berakar pada perbedaan berbasis gender dan jenis kelamin yang sangat kuat di dalam masyarakat,” kata Kartini.
Sedangkan, apabila merujuk Pasal 5 UU PKDRT atau UU Nomor 23 Tahun 2004, menyebutkan bahwa KDRT adalah sebagai berikut: Pertama, kekerasan fisik yang secara spesifik diatur pasal 6 yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit atau luka berat.
“Kedua, kekerasan psikis, dalam pasal 7 disebutkan, yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan atau penderitaan psikis berat pada seseorang,” ungkap Kartini.
Ketiga, pasal 8 berbunyi, kekerasan seksual termasuk pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga, dan pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah tangganya dengan orang lain.
“Keempat, penelantaran rumah tangga, menurut Pasal 9 termasuk menimbulkan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi atau melarang untuk bekerja,” pungkas Kartini.
Pewarta: Syifa Arrahmah
Editor: Musthofa Asrori