Hindari Konflik, Gus Yahya Tegaskan Semua Orang Bertanggung Jawab Upayakan Kehidupan Harmonis
Senin, 10 Juli 2023 | 14:15 WIB
Ketua Umum PBNU, KH. Yahya Cholil Staquf (tengah, berbaju putih), di acara Sosialisasi R20 ASEAN di Palembang, Senin (10/7/2023). Pada pidato sambutan, Gus Yahya menekankan pentingnya harmoni antarumat manusia untuk menghadapi masa depan. (Foto: Ishaq Zubaedi Raqib/LTN PBNU).
Palembang, NU Online
Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya) memaparkan kondisi masyarakat dunia yang terjadi konflik dari masa ke masa. Terlebih di era globalisasi seperti sekarang ini yang sudah tidak ada lagi sekat, sehingga semua orang dari latar belakang apa pun bercampur menjadi satu.
Menurut Gus Yahya, semua orang memiliki tanggung jawab untuk mengupayakan kehidupan yang harmonis di masa depan untuk menghindari konflik berkepanjangan. Jika tidak, konflik antarperbedaan di dunia ini akan terus terjadi dan menghancurkan kemanusiaan.
“Menjadi tanggung jawab setiap manusia untuk memikirkan cara supaya masyarakat manusia di atas bumi yang kecil ini, di masa depan sungguh-sungguh mampu untuk mengembangkan kehidupan yang harmonis di antara perbedaan-perbedaan yang mereka miliki itu. Karena apabila tidak, maka tidak ada arah lain dari konflik antarperbedaan itu yang kemungkinan terus terjadi di antara manusia selain kehancuran bersama,” tutur Gus Yahya.
Pernyataan itu diungkapkan Gus Yahya dalam agenda Sosialisasi R20 Menuju Konferensi Dialog Antar-Budaya dan Antar-Agama Tingkat ASEAN atau ASEAN Intercultural and Interreligious Dialogue Conference (ASEAN IIDC) 2023, di Hotel Shantika Premiere, Palembang, pada Senin (10/7/2023).
Lebih lanjut, Gus Yahya mengungkapkan sebuah ajaran dari KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang hingga kini menjadi dasar untuk bergerak membangun peradaban dunia yang lebih baik di masa depan. Gus Yahya mengutip kalimat nasihat Gus Dur yakni tidak ada cara yang lebih baik untuk membantu Islam selain dengan menolong kemanusiaan seluruhnya.
“Karena kalau hanya berpikir tentang Islam saja, dengan mengabaikan yang lain, apalagi dengan menganggap yang lain sebagai rintangan, maka Islam bukannya akan mencapai kemaslahatan tetapi justru akan terbentur kepada konflik-konflik yang tidak berujung dan tidak akan memenangkan apa-apa, selain hancur bersama-sama yang lain,” tegas Gus Yahya.
Globalisasi Kampung Raksasa
Gus Yahya menyebut globalisasi sebagai era yang menjadikan dunia mengarah pada satu wujud kampung raksasa. Di dalamnya, tidak ada satu pun orang atau kelompok yang bisa mengasingkan diri dari orang lain.
Semua orang, lanjutnya, terpaksa harus bersinggungan dengan siapa pun yang tinggal bersama-sama di atas bumi ini. Tidak lagi mungkin satu peradaban tumbuh sendiri dan terpisah dari peradaban yang lain.
“Dunia masyarakat global ini akan terus mengarah pada terwujudnya satu peradaban tunggal yang saling bercampur satu sama lain,” tutur Gus Yahya.
Di dalam keadaan seperti itu, ia menegaskan bahwa isu tentang perbedaan menjadi semakin krusial. Zaman dulu, orang bisa mudah memelihara cirinya sendiri walaupun berbeda dari yang lain, tanpa saling mengganggu. Karena ada ruang-ruang yang memungkinkan setiap kelompok hidup dan tumbuh sendiri terpisah dari yang lain.
Gus Yahya mencontohkan bahwa pada masa lalu wong kito di Palembang tak perlu harus berurusan dengan reng medureh atau orang Madura. Tetapi di masa sekarang hal itu dimungkinkan karena Ketua PWNU Sumatra Selatan KH Amiruddin Nahrawi adalah orang asli Madura.
Contoh lain, ada Rishi Sunak sebagai seorang berdarah India yang menjadi Perdana Menteri di Inggris. Ada juga Sadiq Aman Khan, Wali Kota London beragama Islam yang orang tuanya berasal dari Pakistan.
Menurut Gus Yahya, fenomena tersebut tak pernah terbayangkan sebelumnya. Tetapi saat ini, di era globalisasi yang menghendaki semua orang bercampur satu sama lain, semua hal yang tak terbayangkan sebelumnya, bisa terjadi.
“Karena dunia ini cenderung mengarah kepada satu kampung yang besar dalam satu peradaban tunggal yang saling bercampur. Dalam keadaan demikian, sekali lagi, isu-isu tentang perbedaan ini krusial sekali,” ujar Pengasuh Pesantren Raudlatut Thalibin Leteh, Rembang, Jawa Tengah itu.
Semula, orang bisa merasa nyaman memelihara cirinya sendiri-sendiri tanpa terganggu oleh orang lain karena bisa memisahkan diri dari yang lain. Tetapi sekarang, orang yang berlatar belakang saling berbeda terpaksa harus bertemu dan harus terlibat dalam urusan bersama atau dalam keadaan saling berbeda.
“Nah, maka jelas bahwa peradaban yang kita hidupi bersama ini membutuhkan unsur-unsur yang dapat memelihara harmoni di antara kita semua, di tengah-tengah perbedaan yang kita miliki ini,” tegas Gus Yahya.
Piagam PBB
Secara singkat, Gus Yahya menyinggung latar belakang lahirnya Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sebagai sebuah konsensus untuk hidup berdampingan secara damai bagi warga masyarakat dunia.
Di masa lalu, lanjut Gus Yahya, setiap orang atau kelompok yang memiliki aspirasi sosial-politik tertentu akan lebih memilih berperang apabila bertemu dengan kelompok lain yang berbeda aspirasi.
Lalu ketika era globalisasi mulai berkembang, terbentuklah aliansi-aliansi di antara satu kelompok kepentingan politik dengan kelompok kepentingan politik yang lain. Mereka membangun persekutuan militer, kemudian saling berbenturan di antara konsolidasi kekuatan militer besar secara internasional melawan kekuatan militer besar yang lain.
“Itulah yang kita alami belum sampai satu abad lalu dengan Perang Dunia II yang sebelumnya juga sudah terjadi dalam Perang Dunia I dan menimbulkan kerusakan-kerusakan luar biasa yang belum pernah terjadi sebelumnya,” ujar Gus Yahya.
Setelah Perang Dunia II, muncul kesadaran di kalangan masyarakat internasional untuk menginisiasi satu tatanan baru yang bisa memaksa semua orang untuk mengembangkan kemampuan hidup berdampingan secara damai.
“Maka lahirlah Piagam PBB yang kemudian disusul dengan operasionalisasi PBB sebagai organisasi pada 1945. Kita tahu dalam sejarah bahwa ini bukan hal yang mudah,” tambahnya.
Sesudah konsensus internasional itu lahir, dunia ini tidak serta-merta menjadi damai tanpa ada konflik. Gus Yahya mengatakan bahwa sampai hari ini konflik di antara aspirasi politik dan ekonomi yang berbeda-beda masih saja berlangsung dan muncul.
“Kalau konflik-konflik yang ada ini kita biarkan dan potensi-potensi konflik kita perbolehkan untuk berkembang menjadi konflik-konflik yang aktual, (maka) tidak ada masa depan bagi dunia ini selain kehancuran bersama. Tidak akan ada pemenang, yang ada adalah semua kalah,” tegas Gus Yahya.
Sebagai informasi, Sosialiasi R20 Menuju ASEAN IIDC 2023 di Palembang ini dihadiri sejumlah tokoh. Di antaranya Dirjen Bimas Islam Kemenag RI H Kamaruddin Amin, Rektor UIN Raden Fatah Palembang Nyayu Khodijah, Dirjen Kerja Sama ASEAN Kemenlu RI Sidharto R Suryodipuro, dan Staf Ahli Hubungan Antarlembaga Kemenlu RI Habib Muhsin Syihab.
Rencananya, ASEAN IIDC akan diselenggarakan pada September 2023 sebagai bagian dari penyelenggaraan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN. Kegiatan yang akan membahas tentang peradaban masyarakat di kawasan Indo-Pasifik itu akan digelar setelah KTT ASEAN.
Gelaran ASEAN IIDC 2023 ini telah mendapat persetujuan dan dukungan dari Presiden RI Joko Widodo. Di forum ini, PBNU akan mengundang para tokoh lintas agama di kawasan ASEAN.
Pewarta: Aru Lego Triono
Editor: Aiz Luthfi