Nasional

Hoaks Masih Marak, Tantangan Jurnalis Bekerja dengan Standar Tinggi

Jumat, 8 November 2024 | 07:00 WIB

Hoaks Masih Marak, Tantangan Jurnalis Bekerja dengan Standar Tinggi

Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), H Mohamad Syafi' Alielha atau Savic Ali. (Foto: dok. istimewa/PBNU)

Jakarta, NU Online
 
Koalisi Cek Fakta yang terdiri dari Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo), Aliansi Jurnalis Independen (AJI), dan Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI) menggelar Indonesia Fact Checking Summit 2024 (IFCS 2024) di Hotel Lumire Jakarta pada Rabu (7/11/2024). 


Acara ini bertujuan untuk membahas tantangan dalam menangkal informasi palsu dan meningkatkan literasi media di Indonesia, terutama di tengah pesatnya perkembangan teknologi dan media.


Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Bidang Media, IT, dan Advokasi, H Mohamad Syafi' Alielha atau Savic Ali menyampaikan bahwa di era media sosial tantangan bagi jurnalis yang bekerja dengan standar tinggi, mulai dari investigasi hingga cek fakta, semakin besar. 


Menurutnya, informasi yang tidak jelas sumbernya mudah menyebar bahkan mengalahkan informasi yang valid.


"Saya kira hari ini memberikan kesempatan untuk membuat fakta menang kembali, meski itu bukan hal yang mudah. Ini terjadi di banyak tempat di dunia, apalagi di era internet," kata Savic dalam sambutannya.


Savic menjelaskan bahwa meskipun internet memudahkan penyebaran informasi dengan cepat hingga menjangkau ribuan atau jutaan orang, masalah utama bukan terletak pada internet itu sendiri, tetapi pada maraknya informasi yang tidak akurat atau hoaks. 


"Kita sudah mengenal internet puluhan tahun, tetapi berita palsu dan hoaks marak terutama ketika ketegangan politik meningkat," ujarnya.


Sebagai contoh, Savic mengungkapkan banyaknya hadits palsu yang dinisbatkan kepada Rasulullah saw, seperti hadits, "Tuntutlah ilmu sampai ke negeri China" dan "Kebersihan sebagian dari iman". Padahal, kata Savic, tidak ada riwayat atau matan yang membuktikan itu adalah hadits. 


Hadits-hadits palsu ini, lanjutnya, muncul akibat konflik-konflik politik yang terjadi di masa lalu, seperti saat perselisihan antara Sayyidina Ali bin Abi Thalib dan Sayyidina Usman bin Affan, yang memicu banyak orang mengutip ucapan Rasulullah saw untuk mendukung posisi politik masing-masing.


"Sumber-sumber berita palsu sering kali lahir dari situasi konflik, dan jika situasi politik tenang, propaganda dan hoaks mungkin tidak marak," kata Savic. 


Ia menambahkan dengan semakin kuatnya polarisasi politik di Indonesia, berita palsu dan framing yang jauh dari kebenaran semakin banyak beredar, terutama di media sosial.


Savic juga menyoroti tantangan dalam memverifikasi informasi yang semakin cepat beredar di era internet. "Hari ini, jika kita cek media sosial, banyak informasi yang tidak akurat dan bisa menguntungkan kelompok tertentu atau mendiskreditkan pihak lain. Itu menyebar begitu cepat, dan memang sangat tidak mudah untuk membedakannya," ujar Savic. 


Ia mengakui bahwa dirinya pun pernah tanpa sengaja menyebarkan informasi yang tidak akurat karena tergoda dengan sumber yang dianggap terpercaya, namun ternyata meleset.


Savic berharap acara ini ke depan bisa menjangkau lebih banyak organisasi keagamaan karena mereka memiliki pengaruh yang besar baik di kalangan umat Islam, Katolik, Hindu, maupun Buddha. 


Menurutnya, organisasi-organisasi tersebut perlu diberi pelatihan tentang literasi media dan cek fakta, karena biasanya mereka lebih fokus pada urusan pendidikan agama ketimbang mengedukasi masyarakat tentang cara menyaring informasi yang beredar di dunia maya.


"Saya kira, ke depan, kita bisa bekerja sama untuk menciptakan informasi yang lebih terdidik dan masyarakat yang lebih mampu menyerap informasi yang begitu besar, cepat, dan beragam di dunia maya," jelas Savic.