Humanitarian Islam Tekankan Aspek Kemanusian dalam Ajaran Islam
Senin, 14 Oktober 2024 | 17:30 WIB
Zastrouw Al-Ngatawi dalam Seminar Pendahuluan Konferensi Internasional, di Universitas Sumatera Utara (USU) Medan, pada Senin (14/10/2024). (Foto: dok. NU Online)
Medan, NU Online
Humanitarian Islam adalah konsep yang menekankan aspek kemanusiaan dalam ajaran Islam.
Hal itu disampaikan oleh Ketua Makara Art Center Universitas Indonesia (UI), Zastrouw Al-Ngatawi dalam Seminar Pendahuluan Konferensi Internasional, di Universitas Sumatera Utara (USU) Medan, pada Senin (14/10/2024).
"Prinsip-prinsip dasar seperti keadilan ('adl), kesejahteraan (al rafahiyyah), kebaikan (mashlahah), dan kasih sayang (rahmah) menjadi landasan dalam merespons berbagai krisis yang dihadapi dunia," lanjutnya.
Selain hal itu, Zastrouw menambahkan bahwa Humanitarian Islam merupakan pendekatan yang menawarkan solusi berbasis pada nilai-nilai universal yang diajarkan oleh Islam, yaitu nilai-nilai yang menekankan pada kemanusiaan, kesetaraan, keadilan, dan perdamaian.
Ia mengatakan bahwa akar humanitarian telah ada dalam tradisi budaya Nusantara, mulai dari tradisi agama-agama lokal, agama Islam, Kristen, hingga Hindu dan Buddha.
Zastrow lantas memberi contoh konsep humanitarian dalam kepercayaan Sunda yang tercermin dalam ajaran Silih Asih, Silih Asah, dan Silih Asuh yang Intinya saling mengasihi kepada sesama (kudu nulung ka nu butuh nalang ka nu suson), saling menjaga, melindungi mengarahkan dan membimbing kepada kebaikan, sehingga terhindar dari hina, dan nista.
Dalam Islam, kata Zastrouw, konsep humanitaran juga tercermin dalam konsep jihad. Bagi Islam, jihad terbesar adalah menahan hawa nafsu. Bahkan memberi makan orang yang kelaparan dan menyediakan obat untuk orang sakit juga masuk dalam kategori jihad.
"Dalam kitab Fathul Muin dan l'anatuth Thalibin, jihad adalah mencegah timbulnya keadaan darurat dengan mememenuhi kebutuhan hidup masyarakat, baik untuk kaum muslim maupun non-Muslim, melalui penyediaan makanan saat dibutuhkan, sandang yang cukup untuk menutup aurat bagi setiap warga negara, tempat tinggal yang layak, obat-obatan dan biaya perawatan yang terjangkau oleh masyarakat," terang Zastrouw.
Zastrouw mengatakan bahwa konsep Humanitarian Islam yang digagas Gus Yahya adalah rekonstruksi dari gagasan pemikiran tentang Islam yang diinisiasi oleh para muassis dan para pemimpin NU sebelumnya yang berbasis pada pemikiran Ahlussunnah wal Jamaah.
"Jadi Humanitarian Islam adalah reaktualisasi dari gagasan-gagasan besar Ahlussunnah wal Jamaah, yang sudah dirumuskan oleh Mbah Hasyim Asy'ari, kemudian dikontekstualisasikan oleh Gus Dur, lalu Gus Yahya merekonstruksinya jadi Humanitarian Islam," ujarnya.
Humanitarian Islam adalah fondasi Islam, namun Islam yang dirumuskan. Ia lantas menganalogikannya sebagai sebatang tebu.
"Tebu kalau kita olah dan kita asah akan bermanfaat. Kalau diinisiasi, diijtihadi akan jadi gula, pupuk, etanol dan sebagainya. Islam juga begitu, diijtihadi jadi Humanitarian Islam, Pancasila dan lain-lain. Humanitarian gulanya, Islam sebagai tebunya," jelas Zastrouw.
"Untuk memanfaatkan tebu, tentunya memerlukan pemroresan terlebih dahulu sehingga manfaat yang dirasakan akan lebih maksimal," tambahnya.