Imaji Satu Abad Indonesia, Gus Yahya: Banyak Perubahan Tak Terduga
Selasa, 26 Juli 2022 | 16:00 WIB
Jakarta, NU Online
Membayangkan seratus tahun Indonesia ke depan, akan banyak ditemui perubahan yang tidak disangka-sangka. Hal itu disampaikan oleh Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), KH Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya) saat mengisi Dialog Kebangsaan bertajuk “Imaji Satu Abad Indonesia”, di Auditorium Prof KH Abdul Kahar Mudzakkir, Universitas Islam Indonesia (UII), DI Yogyakarta, Selasa (26/7/2022).
“Saat ini saja ada banyak fenomena baru yang dulu waktu saya remaja tidak mengira akan ada,” terang Gus Yahya.
Kiai kelahiran Rembang, Jawa Tengah itu melihat bahwa untuk membentengi diri serta menerima segala potensi baik dan buruk sebab perubahan zaman, ia melihat bahwa penting bagi masyarakat untuk berpegang teguh pada falsafah negara sebagai titik tolak.
“Supaya kemana pun kita menuju, kita selalu ingat dari mana kita mulai. Apa yang harus dipertahankan dan dikembangkan,” jabarnya.
Pengasuh Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin, Leteh, Rembang, Jawa Tengah itu juga mempercayai bahwa proklamasi sejatinya tak hanya memberikan mandat kepada bangsa Indonesia untuk mendirikan satu negara semata.
Lebih dari itu, mandat yang tertuang dalam pembukaan Undang-Undang Dasar (UUD) Negara Republik Indonesia 1945 itu turut memperjuangkan peradaban yang lebih mulia untuk seluruh umat manusia.
“Itu sebabnya dalam satu cita-cita kemerdekaan dinyatakan bahwa kita ingin ikut serta dalam ketertiban dunia yang berdasarkan atas kemerdekaan perdamaian abadi dan keadilan sosial,” jabarnya.
Visi bangsa tersebut, lanjutnya, memiliki makna serupa dengan visi universal yang menjadi landasan dari tata dunia pasca Perang Dunia ke-2. “Ini sesuatu yang harus diperjuangkan karena belum menjadi kenyataan,” ujarnya.
Potensi ancaman keutuhan masa depan bangsa
Kiai yang pernah menjadi Juru Bicara Presiden ke-4 RI KH Abdurrahman Wahid itu menyampaikan bahwa perubahan yang bakal dihadapi Indonesia tak lekang dari segala potensi ancaman yang berpengaruh terhadap keutuhan bangsa. Ia membeberkan,sedikitnya terdapat dua potensi ancaman keutuhan bangsa.
“Pertama jelas bahwa kita tidak ingin Indonesia lalu dibelokan menjadi entitas yang bukan negara bangsa yang berbhineka. Karena ini adalah proklamasi. Itu sebabnya kita tidak setuju Indonesia menjadi negara Islam atau khilafah,” paparnya.
Kedua, kemajuan teknologi tanpa pengendalian. Hal itu, menurutnya memiliki potensi terhadap potensi konflik.
“Kita tidak tahu bagaimana teknologi akan membawa dampak pada kehidupan,” katanya.
Seperti di media sosial, menurutnya, orang cenderung kurang bertanggung jawab daripada dunia nyata. Dalam konteks potensi konflik itu, masyarakat harus mengantongi cara untuk mengkanalisasi agar konfliknya bisa dikelola.
“Sehingga tidak sampai meruntuhkan sendi-sendi kemasyarakatan kita,” pungkasnya.
Kontributor: Nuriel Shiami Indiraphasa
Editor: Aiz Luthfi