IMCC Dorong Pemerintah Buat Aturan Baru Terkait Ormas Keagamaan
Kamis, 7 November 2019 | 15:30 WIB
Jakarta, NU Online
Organisasi Keagamaan di Indonesia belakangan kerap menjadi perbincangan serius. Hal itu karena sikap dan tingkah laku ormas keagamaan kerap memunculkan kegaduhan. Misalnya saat menyampaikan pendapatnya soal ajaran-ajaran agama di ruang terbuka, mereka kerap di-bully karena pendapatnya yang kontroversial dan jauh dari nilai agama.
Direktur Indonesia Muslim Crisis Center (IMCC) Robi Sugara mengatakan, penyebab tidak berkualitasnya tokoh ormas keagamaan tertentu di Indonesia karena tidak ada regulasi yang mengharuskan Ormas tersebut memiliki kualitas yang baik. Untuk itu pihaknya mendorong pemerintah membuat aturan baru terkait ormas keagamaan tersebut terutama bagi ormas Islam.
“Harus ada regulasi, aturan khusus buat mereka bahwa mereka yang ada di organisasi tersebut atau ingin mendirikan organisasi masyarakat keagamaan harus ada beberapa unsur-unsur SDM-nya, kompetensinya. Misalnya pertama dia ahli hadits, ahli sejarah peradaban Islam dan itu kalau bisa, statusnya sudah masuk pada tahap ahli, guru besar, profesor,” ucap Robi kepada NU Online, Kamis (7/11) sore.
Ia menegaskan, regulasi itu tidak harus berbentuk undang-undang. Cukup Peraturan Menteri atau Peraturan Presiden (Perpres). Modelnya hampir sama seperti memberikan akreditasi pada lembaga-lembaga pendidikan di Indonesia.
“Harus ada ya, standarisasi harus ada semuanya, misalnya dia pakar bahasa Arab, pakar fikih,” ucapnya.
Robi menilai, dengan pendekatan itu maka secara tidak langsung masalah radikalisme agama di Indonesia bisa terurai. Sebab, nantinya, di dalam ormas keagamaan itu terdapat banyak pakar yang menguasai bidang tertentu.
“Kenapa ada kelompok radikal? karena di dalam organisasi itu hanya satu bidang saja yang dikuasai, bandingkan dengan NU dan Muhamadiyah. Apalagi NU kaya banget. Di NU itu pasti sudah ada ahli macem-macem, ahli fikih, sejarah peradaban Islam (SPI), ahli nahwu sharaf dan lain-lain,” ujarnya.
Ia menyayangkan masih banyak orang yang tidak memiliki track record (rekam jejak) sebagai ahli dalam agama tetapi masuk ke dalam organisasi keagamaan bahkan orang tersebut memiliki jabatan strategis seperti di MUI.
Selain standarisasi kompetensi, aturan yang ia dorong juga memuat klausa kompatibel dengan ideologi Pancasila. Jangan sampai organisasi keagamaan di Indonesia bertentangan dengan ideologi negara karena akan menjadi berbahaya. “Selama ini belum ada wacana yang megajukan ke arah situ,” tuturnya.
Kontributor: Abdul Rahman Ahdori
Editor: Muhammad Faizin