Nasional

INDEF: Kebijakan Subsidi Energi di Indonesia Belum Berdasarkan Visi Jangka Panjang

Rabu, 12 November 2025 | 20:00 WIB

INDEF: Kebijakan Subsidi Energi di Indonesia Belum Berdasarkan Visi Jangka Panjang

Ilustrasi BBM subsidi. (Foto: NU Online/Suwitno)

Jakarta, NU Online

Kepala Pusat Pangan, Energi, dan Pembangunan Berkelanjutan Institute for Development of Economics & Finance (INDEF), Abra Talattov, menilai kebijakan subsidi energi di Indonesia hingga kini masih bersifat reaktif terhadap fluktuasi harga (price-reactive) dan belum didasarkan pada mekanisme aturan jangka panjang (rule-based system).


“Kebijakan subsidi energi Indonesia hingga saat ini masih bersifat price reactive, penyesuaian besaran subsidi lebih banyak ditentukan oleh fluktuasi harga minyak mentah (ICP) dan nilai tukar rupiah, bukan berdasarkan mekanisme formula atau rule-based system yang stabil,” tulis Abra dalam laporan INDEF yang berjudul Satu Tahun Kabinet Merah Putih: Menguji Janji Swasembada Pangan dan Energi, dikutip NU Online pada Rabu (12/11/2025).


Ia menjelaskan bahwa ketika harga minyak dunia melonjak pada tahun 2022, beban subsidi dan kompensasi energi meningkat tajam hingga lebih dari Rp550 triliun, sebelum akhirnya menurun secara bertahap seiring meredanya harga minyak pada 2023–2025.


Menurut Abra, fluktuasi harga minyak mentah Indonesia (ICP) dan nilai tukar rupiah menjadi faktor utama yang memengaruhi besar kecilnya anggaran subsidi energi nasional. Ia menambahkan bahwa kenaikan konsumsi barang bersubsidi juga turut memperberat beban fiskal pemerintah.


“Realisasi subsidi dan kompensasi sangat dipengaruhi oleh tiga faktor utama, yaitu harga minyak mentah Indonesia yang bergerak searah dengan harga Brent, depresiasi nilai tukar rupiah yang meningkatkan biaya impor minyak mentah dan produk BBM, serta kenaikan volume konsumsi barang bersubsidi,” jelasnya.


Meskipun pemerintah telah menyesuaikan harga energi sejak 2022, Abra menilai sebagian besar harga jual energi di Indonesia masih berada di bawah tingkat keekonomian. Ia menjelaskan, selisih antara harga keekonomian dan harga jual inilah yang harus ditanggung oleh pemerintah agar masyarakat tetap dapat menikmati energi dengan harga terjangkau.


Ke depan, Abra menilai pemerintah perlu melakukan reformasi kebijakan subsidi energi agar tidak terus-menerus bergantung pada gejolak harga global.


“Agar tidak terus reaktif terhadap gejolak harga energi global, diperlukan mekanisme subsidi yang lebih rule-based dan tepat sasaran, misalnya melalui digitalisasi data penerima dan automatic pricing formula yang transparan,” ujarnya.


Ia menegaskan bahwa reformasi subsidi energi yang berbasis aturan akan membantu memperkuat ketahanan fiskal nasional sekaligus memberikan ruang bagi pemerintah untuk mengalihkan anggaran menuju transisi energi bersih dan bantuan sosial yang lebih produktif.

 

“Langkah ini penting untuk menjaga ketahanan fiskal, sekaligus mengalihkan ruang anggaran menuju transisi energi bersih dan bantuan sosial yang lebih produktif,” terangnya.