Jakarta, NU Online
Intelektual muda Nahdlatul Ulama Ulil Abshar Abdalla mengatakan bahwa konsep fiqih sukuti yang kerap digunakan para ulama Indonesia dalam menyikapi suatu permasalahan sosial tidak membuat para santri kebingungan.
“Kalau kita sangat dekat atau pengikut setia kiai, pasti akan mengerti arah (pandangan) kiai ke mana, walaupun kiai-kiai itu diam. Jadi, fiqih sukuti ini bagi santri tidak akan menimbulkan kebingungan,” kata Ulil Absar Abdalla dalam sebuah diskusi Kontekstualisasi Fiqih dari Era Klasik Hingga Era Kontemporer di Kabupaten Bekasi, pada Ahad (13/1).
Dalam acara ‘Ngopi Santri Pesantren Motivasi Indonesia’ yang digelar di Kampung Cinyosog, Desa Burangkeng, Setu, Kabupaten Bekasi ia menyontohkan apa yang kerap dilakukan oleh KH Mustofa Bisri yang kerap menggunakan fiqih sukuti.
“Semua orang tahu, arah dan pandangan Gus Mus itu ke mana. Meskipun beliau tidak pernah mengatakan secara eksplisit. Dan itu (fiqih sukuti) adalah salah satu keunikan atau kearifan khas para kiai di Indonesia,” terang menantu Gus Mus ini.
Namun, lanjutnya, bagi orang-orang yang berada jauh atau di luar dari komunitas pesantren, fiqih sukuti ini bisa menimbulkan kebingungan. Tidak demikian halnya bagi orang-orang yang menjadi bagian di dalam komunitas atau lingkaran para kiai di lingkungan NU dan pesantren.
“Nah saya sarankan teman-teman untuk mengkaji fiqih sukuti ini. Dijadikan sebagai penelitian. Karena ini menurut saya adalah kekhasan kita (warga NU). Jangan-jangan kalau kita terlalu mengeksplisitkan banyak hal justru menimbulkan masalah,” jelas Gus Ulil.
Ia lantas mengutip Hadits Nabi, man kaana yu’minu billahi wal yaumil akhir, fal yaqul khairan aw liyashmut yang artinya; bahwa barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka berbicaralah yang baik atau diam.
“Jadi terkadang, yashmut (diam) itu jauh lebih baik daripada kita berpendapat secara eksplisit,” kata dosen Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (UNUSIA) Jakarta ini.
Menurut Gus Ulil, fenomena fiqih sukuti perlu diteliti, dibicarakan, dan perlu dicari makna tersirat yang ada di baliknya. Ia berasumsi, bisa jadi Islam di Indonesia menjadi damai karena unsur fiqih sukuti yang membuat orang terlalu banyak mengemukakan pendapat.
“Tapi kalau hukumnya jelas, para kiai akan berpendapat. Sedangkan jika hukumnya belum jelas dan kondisi sosial-politik tidak kondusif, kiai-kiai memilih diam. Namun kalau para kiai diminta untuk berpendapat, seperti menerima Pancasila sebagai dasar negara, beliau-beliau itu akan secara eksplisit mengemukakan pendapatnya,” terang Gus Ulil.
Ia mengatakan bahwa hal yang perlu diteliti adalah soal kapan, di mana, dan bagaimana para kiai harus menggunakan fiqih sukuti. Penelitian tersebut akan menjadi menarik dan kemudian menjadi bahan diskusi atau kajian.
Sebab ulama-ulama baru yang bermunculan dewasa ini, menurut Gus Ulil, tidak punya kapasitas untuk sukuti seperti ini. “Semuanya harus dikatakan dengan terang, dan kalau semakin jelas semakin keras akan meningkatkan popularitas dan viral,” kata Gus Ulil, disambut gemuruh tawa hadirin.
Para kiai di Indonesia terdahulu itu, menggunakan fiqih sukuti untuk menghindari mudharat. Berbeda dengan ulama-ulama yang muncul akhir-akhir ini.“Maka, fiqih sukuti itulah menjadi penting untuk diteliti,” pungkas Gus Ulil. (Aru Elgete/Ahmad Rozali)