Inilah Tiga UIN dengan Indeks Kemampuan Baca Tulis Al-Quran Terendah
Kamis, 7 November 2019 | 11:30 WIB
Jakarta, NU Online
Lembaga Pentashihan Mushaf Al-Quran (LPMQ) melakukan penelitian terhadap kemampuan baca tulis Al-Quran (BTQ) mahasiswa Universitas Islam Negeri (UIN). Penelitian ini dilakukan pada 14 UIN dengan masing-masing kampus sebanyak 50 responden yang terdiri dari 25 orang program studi agama dan 25 orang program studi umum.
Hasil penelitian ini menempatkan UIN Sultan Syarif Kasim Pekanbaru, UIN Ar Raniry Banda Aceh, dan UIN Mataram sebagai tiga kampus dengan nilai indek kemampuan baca tulis Al-Quran terendah.
“Paling rendah di Sultan Syarif Kasim Pekanbaru karena ketika mau lulus baru ada tes. Semangat belajar itu ketika di akhir saja, memang juga dari proses input,” kata Muhtadirin, salah satu peneliti, saat menyampaikan hasil penelitiannya di Hotel Santika, Taman Mini Indonesia Indah (TMII), Jakarta, Rabu (6/11).
Nilai UIN Sultan Syarif Kasim 1,86 untuk kemampuan membaca dan 1,90 untuk kemampuan menulis dari skala maksimal lima. Jika digenapkan ke level 2 saja, artinya, mahasiswa di sana dalam membaca baru mampu membaca mad asli dan izhar halqiyah saja. Sedang kemampuan menulisnya baru di tahap menyalin beberapa huruf Hijaiyah.
Baca juga: Tiga UIN dengan Indeks Kemampuan Baca Tulis Al-Quran Tertinggi
Sementara itu, UIN Ar-Raniry Banda Aceh berada pada level 2,38 dalam hal kemampuan membacanya dan 2,82 untuk kemampuan menulisnya. Adapun UIN Mataram baru mencapai 2,58 dalam kemampuan membacanya dan 2,54 untuk kemampuan menulisnya.
Hasil tersebut pun mengagetkan para penanggap. Direktur Perguruan Tinggi Islam Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama Arskal Salim, misalnya, mengaku tercengang melihat data tersebut. Pasalnya, tiga UIN tersebut justru berada di wilayah yang bisa dianggap cukup relijius.
“Yang cukup saya surprise adalah ketika melihat tiga urutan ke bawah itu. Ada UIN Pekanbaru, Mataram, dan Banda Aceh. Ini adalah wilayah yang paling banyak Islamnya. Dari 14 besar yang diteliti, tiga besar di bawah sungguh sangat kuat fondasi kajian keislamannya. Ini menyedihkan, memprihatinkan. Ini patut didalami secara kualitatif,” katanya terkejut.
Arskal memaklumi kondisi Aceh demikian, mengingat provinsi tersebut merupakan wilayah konflik dan pernah terjadi musibah besar tsunami. “Aceh wilayah konflik. Tapi bagaimana dengan Riau dan Mataram? Apa penyelesaian kualitatifnya? Ini kok mengkhawatirkan,” kata alumnus Pondok Pesantren Darul Rahman, Jakarta itu.
Baca Juga: Kemampuan BTQ Mahasiswa UIN Dipengaruhi Banyak Faktor
Hal yang mengagetkan lagi bagi Arskal adalah pengalaman pendidikan Al-Quran para mahasiswa seakan ada masa mereka berhenti. Pasalnya, rata-rata mereka sudah belajar membaca Al-Quran sejak di bawah usia 12 tahun, tetapi hasil yang ditunjukkan demikian adanya. Hal ini, menurutnya, perlu dikaji lagi lebih mendalam.
“Artinya, ada proses yang tidak nyambung. Mungkin sebulan dua bulan setahun terus off tidak pernah lagi mendalami. Mengapa lebih jauh mereka ada stop, mengapa berhenti belajar atau mengapa tidak terus menerus belajar Al-Quran?” ujarnya.
Senada dengan Arskal, Kepala LPMQ Muchlis M Hanafi juga terkejut melihat fakta tersebut. Ia melihat bahwa daerah-daerah tersebut dikenal sangat relijius dengan infrastruktur keagamaan yang sudah baik. Riau, misalnya, sangat relijius dengan kemelayuannya. Pun dengan Mataram yang ia lihat sebagai gudangnya para qori. “Ini cukup menggelitik saya,” katanya.
Rekomendasi
Karenanya, Ahmad Jaeni, salah satu peneliti, menyampaikan bahwa belajar Al-Quran membutuhkan intensitas yang tinggi. Seperti UIN Maulana Malik Ibrahim yang mengoptimalisasikan Mahad al-Jamiah. Model ini yang paling memungkinkan intensitas yang tinggi.
"Belajar Al-Quran itu butuh intensitas sehingga yang memungkinkan untuk perjumpaan murid dengan guru itu ya mahad. Yang lain belum bisa seintens di Mahad. Yang kedua baru kolaborasi," katanya.
Kolaborasi yang dimaksud adalah kampus bekerjasama dengan lembaga di luar kampus yang khusus menangani pendidikan Al-Quran. Hal ini guna mengatasi kapasitas Mahad yang minim. UIN Banjarmasin dan UIN Padang telah melakukan hal tersebut.
Muhtadirin, salah satu peneliti, juga menyampaikan bahwa Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Purwokerto memberikan kebijakan mahasiswanya untuk mondok pada tahun pertama di beberapa pesantren di sekitar kampusnya.
Karena beragamnya cara atau kebijakan para rektor terkait pembinaan BTQ mahasiswanya, maka peneliti memberikan rekomendasi agar Kementerian Agama sebagai lembaga tertinggi di lingkungan UIN memberikan kebijakan standarisasi BTQ.
Di samping itu, menurut Jaeni, Perguruan Tinggi Keagamaan Islam (PTKI) adalah terminal terakhir bagi mahasiswa untuk memperbaiki kemampuan BTQ-nya. Mereka sebelumnya telah mengikuti berbagai pendidikan Al-Quran. Karenanya, ia menyampaikan bahwa perlu juga standarisasi di semua jenjang agar persoalan tersebut dapat diselesaikan lebih efektif.
Jaeni juga mengatakan bahwa Kementerian Agama melalui Direktorat Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren dapat mensinergikan kelembagaan TPA/TKA dengan penyelenggaraan BTQ di pendidikan formal.
Pewarta: Syakir NF
Editor: Muhammad Faizin