Cirebon, NU Online
Maraknya pemberitaan mengenai kekerasan seksual dalam dunia pendidikan, membuat masyarakat Indonesia prihatin. Data dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) menunjukkan bahwa satu dari empat perempuan di Indonesia telah mengalami kekerasan seksual, dan hampir 90 persen korban masih menyandang status pelajar.
Pengurus Pusat Ikatan Pelajar Putri Nahdlatul Ulama (PP IPPNU) menjadi salah satu organisasi pelajar yang mengutuk keras perilaku kekerasan seksual dalam bentuk apapun terhadap pelajar. Sebagai salah satu organisasi pelajar putri terbesar di Indonesia, IPPNU memiliki tanggung jawab untuk memberikan edukasi kesehatan reproduksi sebagai bekal untuk melindungi pelajar dari ancaman kekerasan seksual.
Sebagai aksi nyata dalam memerangi tindak kekerasan seksual, PP IPPNU telah membuat beberapa kegiatan edukasi mengenai kesehatan reproduksi. Salah satunya dengan mengadakan seminar bertajuk Santri Talk: Bersama Wujudkan Ruang Belajar Aman Bagi Pelajar dan Santri. Acara berlangsung di Guest House Buntet Pesantren Cirebon pada Senin (20/12/2021). Seminar ini diadakan secara hybrid, dihadiri oleh 158 peserta dari seluruh Indonesia.
Ketua Umum PP IPPNU, Nurul H. Ummah menyampaikan dalam sambutannya bahwa santri dan pelajar harus memahami betul diri mereka secara fisik dan mental, agar terhindar dari kekerasan seksual. "Sebagai pelajar dan santri kita harus berani, menjaga diri dan mengatakan tidak terhadap kekerasan seksual," ungkap Nurul.
Ketua Umum Yayasan Lembaga Pendidikan Islam (YLPI) Buntet Pesantren KH. Salman Al-Farisi mengatakan kasus kekerasan seksual viral yang terjadi di Bandung, merupakan sebuah puncak dari gunung es yang cukup mengerikan. Ia berharap melalui kegiatan-kegiatan edukasi serupa santri talk ini, santri dan pelajar dapat mengedukasi diri sehingga kekerasan seksual dapat diperkecil angka kejadiannya.
Sekretaris Kementerian PPPA, Pribudiarta Nur Sitepu mengatakan bahwa kekerasan seksual banyak terjadi karena korban tidak memahami kesehatan reproduksi dirinya. "Korban tidak mengerti batasan-batasan yang diperbolehkan dan tidak diperbolehkan untuk dilihat dan dijamah orang lain," jelasnya.
Sebagian besar kasus kekerasan yang terjadi, disebabkan oleh pasifnya kepedulian orang tua terhadap anaknya. Mereka berfikir bahwa bila sudah dipondokkan atau disekolahkan di suatu lembaga, maka tanggungjawab sepenuhnya adalah pihak lembaga pendidikan.
"Orang tua banyak yang acuh dan tidak mendampingi anak selama proses belajarnya. Hal tersebut membuat beberapa korban kekerasan seksual menjadi tertutup dan rantainya susah untuk diputus,? imbuh I Gusti Agung Putri Astrid Kartika, Stafsus Menteri PPPA.
Melalui edukasi kesehatan reproduksi para pelajar dibekali dengan pengetahuan dasar perihal organ reproduksi laki-laki dan perempuan, dampak negatif dari kegiatan seksual di luar nikah, kerugian-kerugian yang akan didapat oleh pihak perempuan korban kekerasan dan berbagai jenis kejahatan seksual yang terjadi di sekitar kita.
Kejahatan seksual tidak hanya terjadi secara langsung. Beberapa tahun terakhir banyak juga kejahatan yang terjadi secara virtual. Banyak modus yang dilakukan oleh pelaku untuk memperdaya korban. Salah satunya dengan menggunakan modus cyber stalking, sebagaimana disampaikan Mamay Mujtahid dari Bayt Al-Hikmah.
"Kekerasan seksual merupakan kejahatan yang sangat serius, yang merusak masa depan, sosial dan ekonomi korbannya. Oleh karena itu, pembekalan edukasi mengenai kesehatan reproduksi dan upaya pencegahan lain harus massif dilakukan dan disampaikan kepada para pelajar sejak dini baik putra maupun putri," ungkap Mamay.
Editor: Kendi Setiawan