Nasional

Ironis, Akademisi Sebut Bencana Demokrasi Muncul dari Pemimpin yang Terpilih Secara Demokratis

Rabu, 23 Oktober 2024 | 16:00 WIB

Ironis, Akademisi Sebut Bencana Demokrasi Muncul dari Pemimpin yang Terpilih Secara Demokratis

Dosen Fisipol UGM Abdul Gaffar Karim dalam Forum Ngaji Demokrasi di Griya Gusdurian, Yogyakarta, pada Selasa (22/10/2024) malam. (Foto: dok. istimewa)

 Yogyakarta, NU Online
 
Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisipol) Universitas Gadjah Mada (UGM), Abdul Gaffar Karim, mengungkapkan pandangannya mengenai krisis yang dihadapi demokrasi di Indonesia saat ini.


Menurutnya, bencana demokrasi justru datang dari mereka yang dipilih secara demokratis, sebuah fenomena yang mencerminkan semakin jauhnya hubungan antara proses pemilihan dan upaya deliberasi publik.


Deliberasi adalah proses menimbang-nimbang dengan mendalam dan hati-hati secara bersama-sama dalam pengambilan keputusan.
 

“Bencana demokrasi justru muncul dari orang-orang yang dipilih secara demokratis,” ujar Gaffar dalam Forum Ngaji Demokrasi di Griya Gusdurian, Yogyakarta, Selasa (22/10/2024) malam.
 

Gaffar menyoroti, deliberasi sebagai proses diskusi dan pertimbangan untuk mencapai kesepakatan dalam demokrasi makin lama kian terpisah dari prosedurnya. Meskipun demokrasi terus dijalankan, hasilnya tidak lagi mencerminkan proses deliberasi yang sehat.
 

“Itulah problema demokrasi dewasa ini, yang namanya memilih wakil kita itu tidak menjamin ada proses deliberasi,” papar anggota Badan Pengembangan Inovasi Strategis Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) itu.
 

"Saat ini, banyak yang mengatakan bahwa demokrasi kita mengalami backsliding. Demokrasi mengalami penyempitan. Demokrasi mengalami erosi. Masalah ini mirip dengan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), ketika suami yang seharusnya menjadi pelindung, justru menjadi memukuli istri atau anaknya," ungkap Gaffar.
 

Ia juga menjelaskan, krisis demokrasi ini bukan hal baru. Dalam dua dekade terakhir, demokrasi dirusak justru oleh mereka yang dipilih melalui mekanisme demokratis. Artinya, mereka yang seharusnya menjaga prinsip demokrasi malah menjadi pelaku utama kerusakan.
 

“Tahun 70-an, kita tahu tentara yang mengerosi demokrasi. Tapi sejak tahun 80-an, demokrasi justru dirusak oleh orang-orang yang dipilih dalam mekanisme demokratis,” jelasnya.
 

Gaffar juga menilai bahwa hal tersebut menyebabkan ketidakpercayaan masyarakat terhadap proses deliberasi semakin tinggi.


“Distrust kepada proses deliberasi itu sangat tinggi sehingga tak sedikit orang tetap berpemilu dengan tujuan dapat uangnya saja. Ini karena orang tidak percaya yang terpilih akan menjaga saluran deliberasi,” paparnya.
 

Di sisi lain, masyarakat sipil kini lebih banyak mengambil peran dalam menjaga nilai-nilai deliberasi demokratis, karena kepercayaan terhadap wakil-wakil terpilih makin menurun.


Gaffar berharap bahwa kesadaran akan pentingnya menjaga proses deliberasi ini bisa tumbuh lebih kuat, agar demokrasi di Indonesia bisa kembali berjalan dengan sehat.
 

“Karena itu, akhirnya civil society menjaga deliberasi itu,” pungkasnya.