Jakarta, NU Online
Ahli Epidemiologi dr Syahrizal Syarif mengatakan pola penyebaran kasus Covid-19 di Indonesia tidak terkonsentrasi pada satu wilayah seperti di China, Korsel, Iran, dan Italia. Walaupun ibu kota DKI Jakarta mempunyai kasus terbanyak, saat ini kasus tersebar di 13 provinsi.
Karena itu, strategi penanganannya bisa berbeda dengan negara lainnya.
Syahrizal Syarif mengatakan sepakat dengan pilihan pemerintah yang tidak mengambil karantina wilayah atau lockdown dalam penanganan wabah Corona. Menurutnya penerapan strategi menjaga jarak atau social distancing sebagai hal yang lebih tepat.
"Berbeda dengan lockdown di mana pemerintah melakukan pemaksaan penduduk untuk tinggal di rumah dan menghentikan semua moda transportasi—menutup aktivitas sosial—dengan jaminan keamanan dan kenyamanan warga. Sementara social distancing menuntut kerja sama warga untuk membatasi pergerakan dan berkumpul dalam kerumunan dan melakukan aktivitas berjarak antarmanusia—dan ditambah menutup pusat keramaian yang dianggap perlu," kata Syahrizal, Sabtu (21/3) pagi.
Karena itu, dibutuhkan kesadaran dan pengetahuan masyarakat mengenai risiko wilayah. Peran pemerintah untuk memberi informasi risiko wilayah dengan membuka informasi lokasi kasus konfirmasi dan riwayat pergerakannya.
"Sehingga, masyarakat dapat mengukur risiko untuk diri dan keluarganya. Sebagai contoh pemerintah Korea Selatan memberi tahu warga tentang lokasi yang dikunjungi kasus konfirmasi, sehingga warga dapat menghindari lokasi tersebut selama petugas melakukan pencegahan infeksi, penyemprotan desinfektan pada lokasi tersebut," papar Ketua PBNU Bidang Kesehatan ini.
Ia menegaskan, kebijakan social distancing hanya efektif untuk menahan penyebaran Covid-19 jika kebijakan ini tidak hanya diterima sebagai imbauan. Pemerintah pusat dan daerah harus mampu menerjemahkan ‘belajar kerja-ibadah di rumah’ sampai ke tingkat kegiatan.
Selain itu juga mengembangkan sistem monitoring dan evaluasi untuk memastikan tujuan kegiatan ini tercapai.
"Tidak berlebihan jika diberlakukan sanksi yang mendidik dan memberi pemahaman yang benar terkait kebijakan ini," imbuhnya.
Kemudian, kata Wakil Rektor Unusia iani, pemerintah daerah dapat melakukan inovasi dalam menjalankan kebijakan. Masyarakat dapat mengukur risiko harian kegiatannya dengan perhitungan sederhana, yakni dengan menjawab 15 pertanyaan.
Kelimabelas pertanyaan perlu dijawab dengan jawaban 'Ya' atau 'Tidak'. Jika 'Ya' beri contreng (v) di depan pertanyaan.
1. Saya keluar rumah
2. Saya menggunakan transportasi publik–ojol atau mobil online
3. Saya menggunakan angkot
4. Saya menggunakan bus
5. Saya menggunakan bajaj
6. Saya menggunakan KRL
7. Saya keluar tidak menggunakan masker
8. Saya tetap melakukan jabat tangan
9. Saya tidak sering mencuci tangan pakai sabun dalam perjalanan
10. Saya tidak sering menggunakan hand sanitizer
11. Saya tidak menjaga jarak ketika berkegiatan di luar (belajar, bekerja atau ibadah)
12. Saya tidak mencuci tangan dengan sabun ketika sampai di rumah
13. Saya berada di provinsi tertular
14. Usia saya di atas 60 tahun
15. Saya mempunyai penyakit penyerta; jantung, diabetes, hipertensi, penyakit pernafasan kronik.
Kemudian, jumlahkan jawaban ‘Ya’. Jika jumlah ‘Ya’ 0-5 maka termasuk risiko rendah. Jika jumlah ‘Ya’ 6-10 berisiko sedang, dan jika jumlah ‘Ya’ 11-15 berisiko tinggi.
"Dengan tinggal di rumah risiko nol, jika terpaksa keluar, kita tahu risikonya," pungkasnya.
Pewarta: Kendi Setiawan
Editor: Fathoni Ahmad