Nasional

Jaringan Gusdurian Kecam Perusakan Tempat Ibadah di Minahasa Utara

Sabtu, 1 Februari 2020 | 07:35 WIB

Jaringan Gusdurian Kecam Perusakan Tempat Ibadah di Minahasa Utara

Koordinator Jaringan Gusdurian Alissa Wahid (Foto: NU Online)

Jakarta, NU Online
Jaringan Gusdurian mengecam perusakan tempat ibadah atas alasan apa pun. Tindakan perusakan tempat ibadah bisa disebut sebagai aksi kriminal, sehingga pelaku harus diproses secara hukum,
 
Pernyataan tersebut disampaikan Koordinator Jaringan Gusdurian, Alissa Wahid menyusul tersebarnya video perusakan sebuah bangunan di Perum Agape, Kelurahan Tumaluntung, Kecamatan Kauditan, Kabupaten Minahasa Utara, Provinsi Sulawesi Utara.
 
Pihaknya meminta kepada aparat kepolisian untuk menindak pelaku perusakan sesuai hukum yang berlaku dan menjamin keamanan agara masyarakat bisa beribadah dengan tenang sesuai dengan agama masing-masing.
 
"Ketiga, meminta kepada pemerintah setempat untuk mendinginkan suasana serta memperbaiki bangunan yang telah dirusak," kata Alisa, Jumat (31/1).
 
 
Jaringan Gusdurian juga meminta kepada pemerintah untuk meninjau ulang SKB 2 Menteri tentang Rumah Ibadah supaya tidak melanggar kebebasan beragama dan berkeyakinan. "Perlu dirumuskan aturan yang serta selaras dengan Undang-Undang Dasar dan standar HAM internasional," sebut Alisa.
 
Berikutnya, Jaringan Gusdurian mengimbau masyarakat agar tetap tenang dan memercayakan seluruh proses hukum kepada pihak berwajib serta bersikap bijak dalam bermedia sosial dengan tidak menebar umpatan, ujaran kebencian, dan melebih-lebihkan informasi berita, baik karena dugaan yang tidak berdasar (misinformasi) atau pun penyelewengan (disinformasi). 
 
Jaringan Gusdurian juga mengajak para pemuka agama dan tokoh adat Minahasa untuk terus meneguhkan jati diri orang Minahasa yang memiliki slogan Kitorang Samua Basudara’, kita semua bersaudara.
 
Terakhir, Jaringan Gusdurian meminta kepada seluruh penggerak Gusdurian untuk terus merawat toleransi antarumat beragama dengan membangun dialog bersama kelompok lintas iman.
 
Alisa menyebutkan, kasus perusakan dan pelarangan rumah ibadah bukan hanya ini terjadi. Pembakaran masjid di Tolikara Papua, pembakaran gereja di Singkil Aceh, pelarangan pendirian gereja di Yogyakarta dan Semarang, pelarangan pendirian Pura di Bekasi, hingga berlarut-larutnya kasus Gereka GKI Yasmin Bogor menjadikan status negara kita menjadi ‘darurat toleransi’.
 
"Eksklusivisme beragama yang menguat, kurangnya dialog antar pemeluk agama, hingga peraturan negara yang mengekang kebebasan berpendapat menjadi beberapa faktor yang melatari terjadinya berbagai kasus intoleransi berbasis agama," kata Alisa.
 
Hal itu sangat disayangkan mengingat negara Indonesia mempunyai konstitusi yang menjunjung tinggi kebebasan beribadah dan beragama.
 
Jarigan Gusdurian berpandangan bahwa pada prinsipnya kebebasan beribadah dan berkeyakinan merupakan hak konstitusional warga yang harus dilindungi dan dipenuhi oleh negara (pemerintah pusat dan daerah). Karena itu perusakan terhapa tempat ibadah harus ditindak secara tegas dan memposes hukum pelaku dan provokatornya. 
 
Seperti diberitakan, kronologi perusakan tempat ibadah tersebut bermula pada bulan Juli 2019 ketika kepala desa setempat menghentikan sebuah kegiatan keagamaan. Kepala desa berdalih bahwa izin tempat tersebut adalah balai pertemuan, bukan rumah ibadah. Kejadian tersebut kembali terjadi pada 29 Januari malam.
 
Kombes Jules Abraham Abast, Kabid Humas Polda Sulut sebagaimana, Kamis (30/1) mengungkapkan memang datang warga masyarakat dari sekitar Perum Griya Agape ke balai pertemuan umat Muslim Al Hidayah, menanyakan terkait perizinan tempat ibadah tersebut.
 
Namun, dari warga yang ada di balai pertemuan tersebut terjadi perdebatan dan tidak bisa menunjukkan perizinan karena itu memang belum ada izin menjadi tempat ibadah, karena itu memang bukan tempat ibadah.
 
 
Editor: Kendi Setiawan